Namanya May. Seorang remaja, pelajar SMP yang ceria. Suatu malam sepulang dari pasar malam, May lewat gang sempit. Di situlah hidupnya berubah, hancur. Malam itu, May pulang dengan tatapan kosong. Rambut dan bajunya acak-acakan, seperti hidupnya sekarang. Ia menjadi korban pemerkosaan. Setelah kejadian traumatis itu, May kehilangan semuanya. Keceriaan, harapan, dan segalanya. Hari-harinya sunyi, monoton, dan kosong. Kejadian malam itu benar-benar merenggut hidupnya. Bahkan bertahun-tahun ia mengurung diri di dalam rumah.
Kisah tersebut merupakan penggalan cerita dari film 27 Steps of May. Meskipun film tersebut merupakan karya fiksi, tetapi kisah May banyak terjadi di mana-mana. Bahkan seiring dengan berkembangnya teknologi digital, kekerasan seksual tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga secara online atau KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). KBGO sendiri di antaranya berbentuk penyebaran konten intim tanpa konsen, rekayasa foto bernuansa seksual (morphing), pemerasan dengan penggunaan konten seksual (sextortion), pencemaran nama baik melalui ulasan buruk, fitnah, membuat akun palsu atas nama orang lain, ujaran kebencian (hate speech), dan lain-lain.
Meningkatnya Kasus Kekerasan
Saat pandemi COVID-19, kekerasan berbasis gender mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil riset Situasi Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia selama Pandemi COVID-19 yang dilakukan oleh Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, terdapat banyak korban kekerasan “baru” selama pandemi COVID-19, dengan sebanyak 22% responden korban yang mengatakan mereka terkena kekerasan untuk pertama kali saat pandemi. Tidak hanya jumlah, tetapi frekuensi dan intensitas KBG juga meningkat selama pandemi.
Sementara itu, menurut Catatan Tahunan atau Catahu Komnas Perempuan, pada 2020 kekerasan berbasis gender paling banyak terjadi di ranah privat (sebanyak 75% dari semua kasus), sedangkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) mengalami kenaikan yang signifikan, dari 97 kasus tercatat pada tahun 2018 menjadi 281 kasus pada tahun 2019. Sementara itu, berdasarkan Catahu Komnas Perempuan yang dirilis pada 5 Maret 2021, terdapat 940 kasus KBGO dari sebelumnya 281 kasus sepanjang 2020.
KAKG, Sahabat bagi Para Korban Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual baik secara langsung maupun online, dua-duanya dapat menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Sayangnya, tindakan victim blaming atau menyalahkan korban sering kali membuat korban hanya diam dan memendam. Tidak ada keberanian untuk speak up.
“Makanya jangan pakai baju seksi.”
“Pakaiannya mengundang, wajar kalau digodain.”
“Lagian, ngapain, sih, jalan sendirian malam-malam?”
“Salah siapa mau diajak mabuk?”
Ucapan-ucapan bernada victim blaming tersebut kerap ditujukan kepada korban kekerasan, baik secara langsung maupun tidak. Bahkan aparat penegak hukum yang diharapkan dapat memberikan keadilan justru tak jarang juga menjadi pelaku victim blaming. Sementara itu, akses untuk mendapatkan layanan yang tepat bagi korban kekerasan juga masih minim.
Kondisi ini mengetuk hati Justitia Avila Veda, seorang pengacara litigasi sekaligus konsultan peneliti hukum dan HAM, untuk menawarkan konsultasi secara online. Ia mengunggah tawaran bantuannya melalui Twitter dan disambut antusias oleh banyak warganet.
Respons positif itu mendorong Justitia Avila Veda membentuk Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) pada Juni 2020. KAKG beranggotakan para advokat yang secara cuma-cuma memberikan bantuan hukum kepada para korban kekerasan. Di sisi lain, seperti yang diungkapkan oleh Justitia saat Awarding 13th Satu Indonesia Awards 2022, 28 Oktober 2022 lalu, ia sendiri pernah menjadi korban kekerasan seksual. Ia mengakui bahwa saat itu, sebagai korban, ia merasa kesulitan mencari keadilan. Karena itulah, ia bertekad mendirikan KAKG agar para korban kekerasan mendapatkan pendampingan yang layak.
Salah satu konten edukasi di akun @advokatgender |
Selain memberikan konsultasi dan bantuan hukum, KAKG juga memberikan edukasi lewat konten-konten yang diunggah di akun Instagram @advokatgender. KAKG juga melakukan pendampingan di persidangan bagi klien yang membutuhkan.
Di tahun pertama berdiri, KAKG menerima 150 aduan. Dari kasus-kasus tersebut, sebanyak 80% merupakan kekerasan yang berkaitan dengan teknologi. Data ini senada dengan Catahu Komnas Perempuan yang menyebutkan adanya 940 kasus KGBO sepanjang 2020. Kasus ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es, di mana yang tidak tampak justru lebih banyak daripada yang terlihat.
Dari banyaknya kasus tersebut, tidak semua korban mendapatkan pendampingan yang layak. Seperti May, bisa jadi mereka harus sendirian bergelut dengan trauma. Di tengah maraknya kasus kekerasan, langkah Justitia Avila Veda dengan mendirikan KAKG sangat layak diapresiasi. Ia seperti menyalakan suluh di tengah gelapnya lorong sempit nan gelap. Bukankah lebih baik menyalakan lilin daripada menyumpahi kegelapan?
Bagaimana mengakses layanan KAKG?
Melalui akun Instagram @advokatgender, KAKG memberikan konsultasi hukum secara online dan layanan pendampingan yang dapat diakses melalui Google Form KAKG. Beberapa layanan yang diberikan di antaranya konsultasi hukum via telepon, chat, email, tatap muka, pendampingan hukum secara langsung (pelaporan ke polisi, pengadilan, dan lain-lain), rujukan ke penyedia layanan pemulihan psikologis, rujukan ke penyedia layanan pemulihan fisik.
Laporan melalui Google Form tersebut nantinya akan ditindaklanjuti oleh pihak KAKG. Pelapor akan dihubungi untuk Langkah selanjutnya. Pengaduan ini tidak hanya bisa dilakukan oleh korban, tetapi juga orang lain, misalnya teman atau keluarga.
Meskipun kasus-kasus yang didampingi oleh KAKG tidak selalu berjalan mudah, tetapi KAKG menjadi harapan baru untuk #BangkitBersamaIndonesia. Kendala yang dialami tidak menyurutkan semangat para advokat untuk menjadi sahabat para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan. Respons lambat dari aparat penengak hukum sering kali menjadi kendala.
Faktanya, mereka memang sering baru bergerak setelah sebuah kasus viral dan ramai diperbincangkan. Padahal dari perspektif korban, viralnya kasus bisa jadi malah memperparah traumanya, apalagi jika identitasnya sampai terkuak dan tersebar. Belum lagi para warganet yang judgmental dan melakukan victim blaming juga bisa berdampak buruk pada psikis korban. Karena itulah, KAKG juga menyediakan rujukan ke penyedia layanan pemulihan psikologis.
Satu Indonesia Award, Sebuah Apresiasi untuk Sahabat Para Korban Kekerasan Seksual
Justitia Avila Veda memang baru dua tahun mendirikan KAKG. Namun, langkahnya telah memberi banyak dampak positif bagi para korban kekerasan seksual yang tidak tahu haru mengadu kepada siapa. Melalui KAKG, ia menghadirkan sahabat yang dengan suka rela mendengar, mendampingi, dan membela para korban kekerasan seksual.
Atas langkah cerdasnya ini, Veda, sapaan akrabnya, menerima SATU Indonesia Awards kategori kesehatan. Magister dari Fakultas Hukum Universitas Chicago mengakui bahwa langkahnya tidak mudah tetapi KAKG akan selalu ada untuk para korban yang ingin mencapai keadilan.
Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya patriakhi dan victim blaming, sepertinya memang masih sulit untuk menciptakan kondisi ideal yang ramah bagi semua jenis kelamin, terutama perempuan.
Perempuan masih sering disalahkan atas kekerasan seksual yang dialaminya. Bahkan kebiasaan catcalling yang sebenarnya sangat mengganggu dan tergolong pelecehan masih dianggap candaan yang tidak perlu dibawa serius. Korban perkosaan justru dinikahkan dengan si pelaku. Korban KDRT disuruh bersabar menghadapi pasangan yang gemar main tangan. Katanya, ini ujian dalam rumah tangga. Korban pun bungkam hingga KDRT berulang lagi, dan lagi. Di tengah carut marutnya kondisi tersebut, KAKG tetap ada dan siap menjadi sahabat yang mengulurkan tangan saat tangan-tangan lain menuding dan menyalahkan.
#KitaSATUIndonesia
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...