Hal ini mengingatkan saya pada tulisan Seth Godin dalam buku This Is Marketing: You Can’t Be Seen Until You Learn to See.
“If you’ve gotten an email from a prince offering to split millions of dollars with you, you may have noticed all the misspellings and other telltale clues that it can’t possibly by real.
Why would these sophisticated scammers make such an obvious mistake?
Because it’s not for you. Because they’re sending a signal to people who are sceptical, careful, and well-informed: go away.
The purpose of the email is to send a signal. A signal to the greedy and the gullible. Because putting anyone else into the process just wastes the scammer’s time. They’d rather lose you at the beginning than invest in you and lose you at the end.”
Seth Godin menjelaskan bahwa bukan tanpa alasan jika email atau pesan penipuan penuh dengan salah ketik atau kesalahan tata bahasa lainnya. Hal ini merupakan saringan awal untuk mendapatkan target yang menjadi sasaran mereka, yakni orang-orang berduit yang tidak paham literasi keuangan. Orang yang tidak mengerti, biasanya akan cenderung tertarik dengan penawaran yang menjadi modus penipuan. Lalu, mereka pun merespons. Sementara itu, orang yang paham tidak akan merespons, kecuali hanya iseng untuk mengerjai balik si penipu.
Sayangnya, indeks literasi keuangan di Indonesia masih terbilang rendah. Literasi keuangan sendiri, menurut OJK, adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan dalam rangka mencapai kesejahteraan. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) oleh OJK tahun 2019, indeks literasi keuangan di negeri ini baru mencapai 38,03%.
sumber gambar: OJK |
Rendahnya literasi keuangan tentu berdampak pada banyaknya kasus penipuan, khususnya secara online, termasuk penipuan dengan modus perubahan tarif transaksi. “Pasar” orang berduit namun rendah literasi keuangan masih sangat luas sehingga peluang bagi penipu juga masih terbuka lebar. Indeks literasi keuangan cenderung berkorelasi dengan beberapa hal, yakni usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kemampuan mengenali hoaks, penggunaan internet, dan tempat tinggal.
sumber gambar: kata data |
Makin tinggi indeks literasi keuangan, makin banyak pula orang yang mampu mengenali berbagai modus penipuan online. Seiring berkembangnya teknologi, modus penipuan online juga terus berkembang. Karena itu, indeks literasi keuangan harus terus ditingkatkan agar masyarakat tidak menjadi korban penipuan.
Sejak Januari 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menerima sedikitnya 192.000 laporan rekening yang terindikasi terkait dengan tindak pidana. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 110.000 laporan rekening yang terindikasi terlibat dalam penipuan online. (sumber: Kompas.com)
Dari Pesan Penuh Typo hingga Typosquatting
Berdasarkan berita yang dimuat di Kompas.com, salah satu korban penipuan online adalah pasangan suami istri di Kota Padang, Sumatera Barat. Sang suami mendapatkan pesan di aplikasi WhatsApp mengenai perubahan biaya transaksi. Untuk menghindari pemotongan karena perubahan biaya, ia pun mengklik tautan yang dikirim oleh si penipu, lalu memasukkan password, username, dan PIN. Kemudian, ia menerima SMS kode OTP dan link dari pihak BRI. Link itu ia salin dan tempel ke link yang diberikan oleh si penipu melalui pesan Whatsapp sebelumnya. Tak lama kemudian, ia menerima notifikasi aplikasi Brimo adanya transaksi sebesar Rp300 ribu, transfer sebesar Rp250 juta, dan beberapa transaksi lainnya hingga total mencapai Rp 1,1 miliar.
Kasus tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kasus penipuan yang mengatasnamakan bank. Dari kasus ini, setidaknya kita lebih berhati-hati saat menerima pesan yang mengatasnamakan bank dan menawarkan layanan tertentu. Langkah untuk berhati-hati bisa dimulai dengan mengamati typo atau tata tulis lainnya. Artinya, jika seseorang bisa tertipu dengan pesan penuh typo, kemungkinan ia juga bisa tertipu hingga kehilangan saldo rekeningnya. Ingat, bukan tanpa alasan para penipu sengaja mengetik pesan yang penuh typo atau kesalahan lainnya. Ini adalah filter untuk menyaring orang yang berpeluang menjadi korban penipuan mereka.
Selain mewaspadai typo pada pesan yang dikirim oleh penipu, Anda juga perlu mengenali typosquatting, yakni penipuan berkedok nama domain yang mirip dengan website resmi. Misalnya, website resmi Bank BRI adalah bri.co.id, lalu oknum penipu mengelola domain yang mirip dan mengganti huruf i pada bri dengan angka 1. Sekilas terlihat mirip sehingga akan banyak orang terkecoh dan tertipu.
Yuk, Jadi Nasabah Bijak!
Agar terhindar dari penipuan, kita perlu menjadi Nasabah Bijak yang tidak mudah tergiur dengan penawaran tidak jelas dari penipu. Diperlukan juga peran para penyuluh digital agar makin banyak masyarakat yang melek literasi keuangan. Banyak hal yang bisa dilakukan, di antara sebagai berikut.
1. Jangan merespons pesan yang mencurigakan, misalnya pesan dengan banyak typo
Seperti dijelaskan sebelumnya, pesan dengan banyak typo bisa menjadi indikasi penipuan. Karena itu, jangan abaikan typo karena hal “sepele” ini menjadi awal Anda kehilangan saldo di rekening. Ingat kata Seth Godin, “They’re sending a signal to people who are sceptical, careful, and well-informed: go away.” Jadi, jika Anda menerima pesan semacam itu dan mengatasnamakan bank, segera blokir dan report nomor tersebut! Tak peduli nomor tersebut merupakan akun bisnis atau personal.
2. Jangan klik tautan sembarangan meskipun ada embel-embel nama bank
Bersikaplah sekeptis sebelum Anda mengeklik sebuah tautan. Teliti lagi, dan lagi. Nama domain yang mirip belum tentu merupakan website resmi suatu bank atau lembaga lainnya.
3. Jika ingin complain via media sosial, pastikan Anda mengirim pesan kepada akun resmi bank yang ditandai dengan centang biru
Complain via media sosial, khususnya Twitter, menjadi pilihan banyak orang karena dikenal fast response. Saya pun lebih memilih complain via Twitter untuk urusan perbankan dan lainnya. Sayangnya, sering kali twit saya direspons oleh akun-akun palsu yang mengatasnamakan bank. Mereka kerap mengirim tautan sabagai salah satu modus penipuan. Karena itu, sebaiknya lakukan complain via DM agar lebih privat dan terhindar dari penipu. Namun, pastikan Anda mengirim pesan kepada akun resmi yang sudah terverifikasi.
Mengenai modus penipuan custumer care palsu di media sosial, BRI telah membagikan video edukasi untuk para nasabah. Yuk, tonton videonya untuk menjadi nasabah bijak!
4. Jangan pernah memberikan kode OTP kepada siapa pun!
Poin ini sangat riskan jika Anda lakukan. OTP bisa dibilang “benteng terakhir” yang apabila Anda bagikan kepada pihak lain, kemungkinan besar saldo Anda akan melayang. Karena itu, berhati-hatilah. Jangan pernah memberikan kode OTP kepada siapa pun, termasuk pihak yang mengatasnamakan bank.
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...