Kompleks Charminar, Hyderabad |
Empat tahun lalu, bulan Ramadhan
dan Lebaran saya lalui di Hydebarad, India. Saya menjalankan puasa dalam sunyi,
saat kebanyakan teman di sekitar saya tidak wajib melaksanakan puasa. Bahkan
dalam satu kelas, saya satu-satunya yang berpuasa. Beberapa teman yang
sebelumnya tidak pernah mengenal muslim secara langsung (terutama teman-teman
Mongolia) heran sekaligus kagum melihat saya tidak makan dan minum dari pagi
hingga petang.
Apalagi dalam bulan puasa tahun itu ada beberapa agenda tour yang
harus kami ikuti, yang tentu saja butuh kekuatan fisik. Belum lagi ditambah
cuaca panas bulan Juni dan durasi puasa 1,5 jam lebih lama daripada
Indonesia—tentu ini tak ada apa-apanya jika dibanding dengan durasi puasa di
Eropa pada musim panas. Pengalaman puasa di India menjadi cerita tersendiri bagi saya.
Jalan-jalan ke Golconda Fort saat puasa |
Tak ada suasana Ramadhan seperti
di tanah air. Tentu, sama sekali berbeda. Rasanya seperti tidak sedang di bulan
puasa. Tapi di India banyak muslim, kan? Memang cukup banyak, apalagi di
Hydebarad, namun muslim tetap tergolong minoritas dibanding umat Hindu. Karena
itulah, masih banyak restoran buka di siang hari. Pedagang kaki lima dari puri
hingga samosa, dari jus buah hingga es tebu, semua masih jualan seperti
hari-hari biasa.
Sahur, buka puasa, dan shalat Tarawih
saya lakukan sendirian. Benar-benar sendirian. Memang, sekali pernah saya
berbuka puasa dengan para WNI yang tinggal di Hyderabad, tapi itu tak
mengurangi kerinduan akan suasana Ramadhan di tanah air. Rasanya masih tetap
sunyi.
Mengawali buka puasa di India |
Saya juga tak bisa melaksanakan
shalat Tarawih di masjid. Bukan karena tak ada masjid di dekat tempat tinggal
saya, namun karena kaum perempuan tidak boleh ke masjid. Nyesek, kan? Kata
seorang perempuan muslim yang saya tanyai, “This is the rule.” I want to break
the rule, batin saya. Larangan ini semakin menggenapi kesunyian Ramadhan saya
di India.
Saat Lebaran tiba juga tak jauh
beda. Idul Fitri di India kala itu jatuh pada 7 Juli 2016, sehari setelah Idul
Fitri di Indonesia. Saya berkumpul lagi dengan para WNI yang tinggal di
Hyderabad. Kali ini lebih banyak. Kami masak besar dan mengundang beberapa
warga lokal. Namun masih sama, sunyi itu tak akan hilang sepenuhnya jika tidak
berlebaran di kampung halaman bersama keluarga. Apalagi saya sebagai perempuan
tak bisa ikut shalat Id di masjid. Rasanya seperti tak berlebaran.
Bukber online via Zoom |
Empat tahun kemudian, tepatnya
bulan puasa 2020. Pandemi covid-19 datang. Dan sunyi itu kembali terulang. Lagi,
saya beribadah dalam sunyi. Tak ada ramai-ramai buka puasa bersama teman kantor
atau teman segeng. Tak ada hiruk pikuk Pasar Ramadhan dan pengajian-pengajian
di masjid menjelang berbuka. Adzan masih tetap berkumandang, namun bertambah
dengan ajakan, “shallu fi buyutikum.” Shalatlah di rumah kalian.
Usai shalat Id 1440 H |
Seperti empat tahun lalu, saya
tak bisa shalat tarawih di masjid. Tak ada muslim yang berbondong-bondong ke
masjid untuk shalat Tarawih. Seperti empat tahun lalu, sunyinya masih sama.
Hanya rasanya yang beda. Empat tahun lalu tak ada perasaan waswas atau khawatir
akan pandemi. Empat tahun lalu, meski menjalankan puasa dalam sunyi, namun saya
masih bebas ke mana-mana tanpa waswas. Tak ada social/physical distancing. Tak
ada anjuran untuk #dirumahaja.
Empat tahun lalu saya tidak mudik
karena program short course yang saya ikuti lewat beasiswa ITEC. Tahun ini pun saya terpaksa tidak
mudik. Terlalu berisiko jika saya memaksakan diri untuk mudik. Baik risiko
tertular maupun menulari. Apalagi di Jogja saya tinggal di zona merah. Sudah
ada dua keluarga di lingkungan saya yang dinyatakan positif covid-19, satu di
antaranya masih se-RT. Hanya selisih beberapa rumah.
Jika kondisi normal, seminggu
lalu harusnya saya sudah mudik. Sudah di rumah dengan segala persiapan jelang
Lebaran. Harusnya saya sudah di rumah, menikmati pagi yang tenang, memandang siluet Argupuro di kejauhan. Harusnya saya sudah mainan tepung bikin kue kering bareng Emak,
diselingi perdebatan dan keributan kecil di antara kami. Harusnya saya sudah di
rumah, mengomeli adik saya yang malas-malasan. Harusnya saya sudah di rumah,
bermain dengan kucing-kucing yang foto-fotonya memenuhi galeri ponsel
saya. Atau menemani ponakan nonton Puss in Boots untuk kesekian kalinya. Dan masih banyak “harusnya” yang lain, yang tidak mungkin saya lakukan
sekarang....
Miki dan kardus kesayangannya |
Kenyataannya, saya masih di Jogja
dengan beberapa teman dari luar kota yang juga tidak mudik. Dalam kondisi
seperti ini, pulang dan berlebaran bersama keluarga adalah sesuatu yang tak
terbeli dengan mata uang mana pun. Pulang menjadi kebutuhan yang tak bisa saya
penuhi. Jika tak ada uang atau tak ada waktu, saya masih bisa mengusahakan
untuk mencari uang dan mencuri waktu di sela kesibukan.
Tapi dalam kondisi sekarang, apa yang bisa saya lakukan? Ada uang untuk pulang, waktu libur pun cukup
panjang. Namun sebaliknya, tidak mudik justru menjadi pilihan paling bijak bagi
saya. Menunda jumpa menjadi cara untuk saling jaga. Meski berat. Karena bagi
perantau, pulang bukan sekadar mengambil jeda di sela hari-hari kerja. Pulang
adalah momen mengisi kembali energi jiwa lewat kebersamaan dengan sanak
saudara.
Enam bersaudara minus si bungsu |
Sebagian kecil dari keluarga besar Bani Abdul Jalal |
Lebaran tahun ini, kita berada
dalam kondisi di luar kendali. Dengan ketidakpastian yang memicu kecemasan.
Tapi pasti, ini akan berlalu dan menjadi cerita di lain waktu. This too shall pass. Mari saling
menguatkan. Mari saling jaga dengan menunda jumpa.
Yakinlah, ini bukan selamanya.
Ada lain waktu untuk bersua. Dalam kondisi yang lebih aman agar kita bisa
berjabat tangan dan berpelukan.
Minal a'idin wal faizin
Mohon maaf lahir batin
Selamat Lebaran!
Stay healthy, stay sane, and stay
at home.
*sending virtual hug
*lap air mata pake kanebo
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...