Udara di Sabtu pagi itu masih cukup dingin. Jam 7 pagi dengan suhu 21° memaksa saya berkali-kali merapatkan jaket, sambil duduk di boncengan motor. Berdua dengan teman, kami menantang dinginnya pagi melewati perbukitan Imogiri yang penuh tanjakan dan tikungan.
Kabut telah menipis. Pucuk-pucuk pohon mulai disepuh sinar keemasan sang baskara. Sementara, kami masih terus membelah lalu-lintas di jalan beraspal sambil melawan sisa-sisa dingin demi melunasi rasa penasaran terhadap suatu tempat bernama Pasar Kaki Langit yang diinisiasi oleh komunitas Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Jogja dan digadang-gadang sebagai destinasi digital untuk kaum milenial dengan menyajikan destinasi yang unik dan instagramable. Popularitas Pasar Kaki Langit juga tak lepas dari peran GenPI yang giat mewartakan keunikan pasar ini melalui media sosial.
***
Pasar Kaki Langit |
Dua orang pria berpakaian tradisional Jawa menyambut kami dengan ramah di pintu masuk. Mereka mempersilakan kami menukar uang dengan “mata uang” khusus yang digunakan sebagai alat tukar di Pasar Kaki Langit. Saya menyerahkan selembar uang Rp50.000,00. Mereka menggantinya dengan beberapa keping koin kayu senilai total 50.
tempat penukaran uang |
koin kayu sebagai "mata uang" |
Berbekal sekantong koin kayu, kami mulai menjelajah dari satu lapak ke lapak lain. Pedagang yang juga berpakaian ala Jawa menyambut dengan ramah sembari menawarkan dagangan masing-masing. Wanita-wanita berbalut kebaya dan jarit terlihat sibuk melayani para pembeli. Gudeg manggar, pecel, dawet, lotek, gado-gado, sego bakar, macam-macam bubur, mi lethek, tiwul, dan masih banyak lagi berbagai makanan tradisional yang dijual di lapak-lapak pedagang di Pasar Kaki Langit. Semuanya menggoda, menerbitkan liur, dan membuat kami sulit menjatuhkan pilihan.
Mbak Yatmi sedang menyiapkan pesanan |
Akhirnya, kami berhenti di lapak bubur Mbak Yatmi yang menyajikan beberapa macam bubur. Ada bubur sumsum, bubur sayur krecek, bubur kacang hijau, dan bubur ketan hitam. Bubur sayur krecek yang kemudian menjadi pilihan kami. Tak lupa, kami juga memesan bakwan yang terlihat menggoda meski masih terendam di atas penggorengan.
“Sekedap nggih, Mbak,” kata Mbak Yatmi, “Bakwane nembe digoreng.”
(Sebentar ya, Mbak. Bakwannya lagi digoreng.)
Sambil menunggu bakwan yang hampir matang, Mbak Yatmi menyiapkan pesanan kami. Dia menyendok bubur dari dalam gentong kacil, memindahkannya ke dalam mangkuk tanah liat, lalu menyiramnya dengan kuah santan disertai potongan-potongan krecek dan sayuran.
Bubur Sayur Krecek |
Nikmatnya sarapan di Pasar Kaki Langit |
Kini, di atas meja kayu telah tersaji dua mangkuk bubur sayur krecek dan bakwan yang masih panas, siap mengusir sisa hawa dingin yang masih terasa. Ada sensasi lembut begitu satu suapan bubur memasuki rongga mulut. Kuah santan yang gurih dan sedikit pedas berpadu dengan lembutnya bubur. Disusul satu gigitan bakwan panas, maka sempurnalah perpaduan rasa pagi itu.
Matahari mulai meninggi, namun sisa-sisa dingin tak kunjung pergi. Saya masih asyik menikmati bubur sayur krecek sambil menghangatkan diri di bawah sinar mentari. Sementara di panggung, ibu-ibu berjarit dengan atasan berwarna toska, sedang melantunkan tembang berbahasa Jawa. Sedangkan ibu-ibu lainnya menabuh lesung yang bentuknya mirip perahu. Tidak, mereka tidak sedang menumbuk padi, tetapi menampilkan kesenian unik bernama gejog lesung.
Konon, gejog lesung sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Padi yang telah dijemur hingga kering dimasukkan dalam lesung, kemudian ditumbuk dengan alu. Seiring alu yang mengentak, timbullah irama yang rancak. Gejog lesung juga dimainkan sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Dewi Sri atas panen yang berlimpah.
Di saat-saat tertentu, gejog lesung juga dimainkan, misalnya ketika gerhana. Dalam mitos Jawa, gerhana terjadi karena raksasa bernama Batara Kala menelan matahari atau bulan. Lesung pun ditabuh untuk mengusir si raksasa dan memaksanya memuntahkan kembali bulan atau matahari.
Saat bulan purnama, gejog lesung juga dimainkan untuk menciptakan keceriaan. Suasana semakin semarak di malam terang bulan. Anak-anak bermain di halaman diiringi tabuhan lesung dengan irama yang membahana.
Seiring berkembangnya teknologi, di zaman sekarang, menguliti padi bisa dilakukan dengan mudah menggunakan mesin giling. Gejog lesung mulai ditinggalkan dan “hanya” menjadi pertunjukan seni, tidak lagi menjadi aktivitas sehari-hari.
Di Pasar Kaki Langit, gejog lesung adalah daya tarik tersendiri. Jarang-jarang saya bisa mengajak lidah bernostalgia lewat makanan tradisional yang mulai langka sambil menikmati musik semarak yang dihasilkan dari harmonisasi unik antara lesung dan alu.
Kesenian Gejog Lesung |
Biyen tak openi, ning saiki ana ngendi
Jarene wis menang, keturutan sing digadhang
Biyen nate janji, ning saiki opo lali....
Langgam Caping Gunung ciptaan Gesang mengalun seiring alu dan lesung yang beradu menciptakan irama yang merdu. Saya takjub melihat kelihaian mereka menciptakan irama lewat entakan alu. Saya menikmati syair langgam yang berkisah tentang kerinduan orang tua pada anaknya yang merantau entah di mana, membuat gigitan bakwan terakhir yang tersisa di piring, serasa diselipi rindu di sana. Rindu pada orang tua di desa.
Satu tembang selesai dilantukan ketika bubur sayur krecek dan bakwan di atas meja telah tandas. Saya kembali menjelajahi lapak-lapak pedagang di Pasar Kaki Langit. Kali ini, perhatian saya dicuri oleh mi lethek, tiwul, dan klepon ubi ungu di salah satu lapak.
“Niki pinten, Buk?” Saya menunjuk sebaskom mi lethek.
(Ini berapa, Buk?)
“Pinten-pinten mawon, Mbak. Kaleh ewu, tigang ewu, sekawan ewu angsal.”
(Berapa pun, Mbak. Dua ribu, tiga ribu, empat ribu boleh.)
Saya menyerahkan tiga keping koin yang senilai dengan tiga ribu rupiah. Si ibu dengan sigap membungkus mi yang terbuat dari tepung singkong ini menggunakan kertas minyak. Seperti namanya, tampilan mi lethek ini memang lethek alias buluk, tidak putih. But, don’t judge mi lethek by its color. Meski warnanya lethek, namun rasanya enak.
tempat untuk pengunjung Pasar Kaki Langit |
tiwul |
Puas mencicipi aneka jajanan tradisional di Pasar Kaki Langit, saya bersiap pulang saat hari mulai menjelang siang. Koin kayu yang menjadi “mata uang” masih tersisa beberapa, dan ternyata bisa kita tukarkan kembali ke rupiah.
“Kok masih sisa, Mbak?” tanya lurah pasar.
“Iya, Pak, makanannya murah-murah.”
Pak Lurah tersenyum. “Terima kasih sudah berkunjung, Mbak. Ajak teman-temannya main ke sini, ya.”
Sesekali, kita memang perlu menikmati pagi di Pasar Kaki Langit. Sesekali, kita memang harus melawan gravitasi kasur yang semakin kuat di hari libur, lalu memanjakan lidah dengan berbagai kuliner di Pasar Kaki Langit. Sesekali, kita juga perlu menghangatkan pagi dengan sambutan ramah para pedagang, dengan alunan gejog lesung, dengan hangatnya bubur krecek yang gurih, atau tiwul yang manis ber-topping gula Jawa. Semua itu berpadu menjadi harmoni pagi yang tersaji di Pasar Kaki Langit.
Info:
Pasar Kaki Langit berlokasi di Jalan Mangunan, Cempuk, Mangunan, Dlingo, Bantul, DI. Yogyakarta
Jam buka: Sabtu dan Minggu jam 06.00-12.00
Asyik banget ni mba pasarnya.. kapan2 mau nyoba ah!makasih mba...
ReplyDeletePagi-pagi nyari sarapan di sini asyik banget, Mbak.
DeleteKalau aku ke Jogja temenin ke sini yo mbk, pingin icip bubur sayurnya. sama penasaran pingin nonton gejog lesung.
ReplyDeleteRiska
hai, anonim, dari dulu wacana mulu mau ke Jogja. hahaha....
DeleteNahhh bener banget tuh ak juga pernah diceritain kalau disana ada uangnya sendiri untuk beli-beli sesuatu disana, kek dituker gitu yaaa.. Belum pernah kesana sih tapi nnanti pan kapan kesana deh
ReplyDeleteWah seneng deh kalau wisata ke tempat yang ke tradisional tradisionalan gini :D manteppp tenan pokoke..
ReplyDeletebisa menghidupkan perekonomian dan produk made in Indonesia :)
mirip papringan ya mbak :)
ReplyDelete