Tiga baris antrean mengular di halaman Museum Benteng Vredeburg siang itu. Dan, saya termasuk salah satu orang yang berada di dalam antrean tersebut untuk melakukan registrasi peserta Jelajah Malam Museum yang diadakan oleh Komunitas Malam Museum, 24 September lalu, dengan tema Pahlawan Idolaku. Semakin siang, antrean semakin mengular. Tentu saja, karena kegiatan ini diikuti oleh 150 peserta dari berbagai komunitas, yaitu Komunitas Malam Museum, Generasi Pesona Indonesia (GenPi), Masyarakat Digital Jogja, Roemah Toea, Magelang Tempoe Doeloe, Magelang Kembali, Guyub Seni, Djokjakarta 1945, Onthel Podjok, serta masyarakat umum non-komunitas.
Setelah registrasi, tiga lembar “uang” saya terima beserta sebuah kaus, nametag, tas berisi air mineral, topi, alat tulis, dan dua lembar rilis tentang acara ini. Satu lembar "uang" saya tukar dengan sepincuk kudapan dari dapur umum, isinya tiwul, gatot, dan lupis. Nikmat sekali.
Setiap peserta sibuk mencari anggota grup dan jodoh masing-masing. Banyak wajah asing. Hanya sesama blogger perwakilan Genpi Jogja yang beberapa orang saya kenal. Sampai akhirnya, seorang gadis menyapa saya. Ratih namanya. Nametag yang dia kenakan berwarna ungu, sama dengan warna nametag saya. Artinya, kami satu grup, yaitu Grup 4 Operasi Jatayu, Letnan Udara II B. Matitaputty. Tak lama setelah itu, lengkaplah anggota kelompok kami, delapan orang. Ada saya, Ratih, Aya, Tri, Rama, Arief, Mas Ryan, dan Mas Bagus yang menjadi ketua kelompok.
Cerianya kami (photo by Ryan, pakai timer) |
Setelah pembukaan acara sekaligus pelepasan peserta oleh Ketua Museum Benteng Vredeburg, Dra Zaimul Azzah, M. Hum, maka kompetisi pun dimulai. Ya, acara jelajah ini dikemas dalam konsep triathlon race. Artinya, setiap kelompok harus menyelesaikan sebuah misi, yaitu mencari jawaban di dalam museum serta melakukan beberapa tugas lain yang berbeda di setiap museum. Penggunaan Google sangat dilarang dalam kompetisi ini. Kecepatan dan ketepatan menjadi poin penilaian untuk menentukan juara, karena setiap misi dibatasi waktu. Selain itu, perjalanan antarmuseum ditempuh dengan cara yang berbeda, mulai jalan kaki, naik sepeda onthel, hingga naik jeep.
Membatik (photo by Arief N.R) |
Kelompok saya memulai rute pertama dari Museum Benteng Vredeburg dengan menjawab 6 pertanyaan dan membatik. Aya dan Tri yang bertugas membatik, sementara yang lain berkeliling mencari jawaban.
“Kapan Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda yang mengusung isu perbedaan ras untuk mencegah Irian Barat bergabung dengan Indonesia?”
Itulah dua dari 6 pertanyaan yang harus kami cari sampai keliling museum. Tapi, di sinilah letak keseruannya. Dari diorama ke diorama, kami bergerak cepat mencari jawaban sambil memperkirakan waktu yang entah tersisa berapa menit. Bahkan, saya setengah berlari menuju diorama 4 yang letaknya agak jauh untuk mengulik sejarah Irian Barat.
Misi pertama selesai, lalu dilanjutkan misi kedua di Museum
Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman yang berjarak sekitar 1,3
km dari Museum Benteng Vredeburg. Jarak tersebut harus kami tempuh
dengan berjalan kaki, tidak boleh nebeng, apalagi order ojek online. Karena
mempertimbangkan waktu, kami harus berjalan dengan cepat namun tetap
hati-hati.
Icon Museum Sastmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman |
Kedatangan kami disambut oleh dua orang panitia yang langsung memberi tugas setelah kami menampilkan yel-yel. Selembar daftar pertanyaan harus segera kami cari jawabannya hanya dalam waktu 5 menit. Kami langsung bagi tugas. Museum yang semula sepi langsung riuh oleh hiruk-pikuk kami. Saya kebagian mencari tahu siapakah Tjokrosunaryo yang merupakan ayah angkat Jenderal Sudirman. Setelah berkeliling museum, ternyata jawaban ini justru saya temukan di ruang paling depan, di dalam sebuah figura yang terpampang cukup tinggi.
Tidak lebih dari 5 menit misi selesai!
Di misi ketiga, kami harus mengayuh sepeda onthel menuju Museum Dewantara Kirti Griya. Sesuai namanya, museum ini berisi koleksi bersejarah yang berhubungan dengan Ki Hadjar Dewantara. Di museum ini pula saya menemukan foto 3 Serangkai, yaitu Ernest Douwes Dekker, Dr. Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hadjar Dewantara.
Setelah capek jalan kaki dan mengayuh sepeda onthel yang tidak ada remnya, di misi keempat, kami dimanjakan dengan naik jeep menuju Museum Perjuangan. Hari sudah petang dan perut kami sudah keroncongan, tapi tinggal satu misi yang harus kami selesaikan.
Di Museum Perjuangan |
Di museum keempat, selain menjawab pertanyaan, kami juga harus menyanyikan lagu wajib nasional. Seperti di museum-museum sebelumnya, kami selalu bagi tugas. Begitu pertanyaan pertama dibacakan, harus langsung ada satu orang yang masuk untuk mencari jawaban. Saya bertugas mencari tahu siapakah wanita yang mendirikan Sakola Kautamaan Istri. Kamu tahu? Yang jelas bukan saya. Saya bukan pendiri Sakola Kautamaan Istri, melainkan calon istri. Ya, dialah Dewi Sartika.
Di museum keempat ini, selesailah misi kami. Mission accomplished! Kembali ke museum pertama, kami juga naik jeep lagi. Seumur-umur, baru kali ini naik jeep terbuka di tengah kota Jogja.
Photo by Arief N.R |
Semangkuk wedang ronde dan semangkuk gudeg menjadi pemadam kelaparan kami. Makan dan ngobrol penuh keakraban malam itu diiringi dengan musik keroncong. Sampai akhirnya, tibalah waktu pengumuman pemenang. Seperti biasa, pemenang diumumkan mulai pemenang ketiga, kedua, dan terakhir pemenang pertama.
Mereka menyambut dengan tepuk tangan, kami memberi bonus teriakan senang. Yeay, kami juara pertama! You’rock, guys!
“Nothing to lose aja, sih,” saya menimpali.
“Iya, nothing to lose,” sambung Mbak Tri, “tapi ngarep juga, sih.”
Kami ngakak bersama. Dan lagi-lagi, Rama seolah yakin bahwa kami akan menang. Ternyata, kami memang juaranya.
Terima kasih kami ucapkan kepada Komunitas Malam Museum dan Museum Benteng Vredeburg yang telah menyelenggarakan acara keren ini. Sebelumnya, berkunjung ke museum tak pernah seasyik dan seseru ini.
Salam sahabat museum!
Museum di hatiku!
Aku malah mlipir pas acara hahahahha
ReplyDeletePengen ke sana lagi pas akhir pekan
Pantes gak papasan sama sekali.
DeleteHai mb ayun..suka banget baca cerita2 mb ayun. Terutama yang dari saya untuk Jogja dan pengalaman2 selama belajar di.India..inspiratif...:)
ReplyDeleteHai, Mbak Sapti. Makasih udah mampir.
DeleteYang Jogja itu emang bener2 ditulis dengan hati, pas nulis emang feel-nya dapet banget. Hehehe