Gapura Ucapan Selamat Imlek di depan Pasar Gede |
Seorang sahabat bertanya, “Apa yang membuatmu begitu mencintai Gus Dur?” Saya hanya memiliki sebuah
jawaban: “Karena Gus Dur adalah ayah saya.” Sahabat itu menertawakan jawaban saya.
Apakah jawaban saya salah, Gus Dur? Jawaban apa yang harus dikatakan lagi bila
Gus Dur sudah memenuhi keinginan saya (untuk merayakan Imlek)? Bukankah hanya seorang
ayah yang menyayangi anaknyalah yang mau memberikan apa yang membuat anaknya berbahagia?
Karena itu, betapa inginnya saat Imlek ini saya menjura pada Gus Dur. Namun,
tampaknya Gus Dur sedang menempuh perjalanan ke sebuah tempat yang lebih tinggi,
sehingga saya hanya bisa mengatakan: Gus Dur, xie-xie, semoga Gus Dur sampai kepada
Sang Cahaya. Amin. (Lan Fang, dalam
Imlek Tanpa Gus Dur).
Mata saya nyaris basah
ketika pertama kali membaca tulisan alm. Lan Fang tersebut. Sampai sekarang, saya
masih terkenang dan terkesan oleh tulisannya, terutama saat Imlek. Melalui
tulisan itu, Lan Fang berhasil membuat saya ikut merasakan kebahagiaannya
merayakan Imlek setelah sebelumnya perayaan Imlek secara terbuka pernah
dilarang. Kebahagiaan itu seperti ketika bapak saya mengabulkan sesuatu yang
sudah lama sangat saya dambakan.
Tepat sekali Lan Fang
menggambarkan kebahagiaannya sehingga saya bisa merasakan betapa ia—sebagai
etnis Tionghoa—mendambakan hari yang ia tunggu-tunggu juga diperingati secara
terbuka sebagaimana umat agama lain di negeri ini memperingati hari besar
masing-masing. Sebab, sejak 6 Desember 1967, Presiden Soeharto
mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh
Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina hanya boleh dirayakan di
lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Kemudian, pada 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres
No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Keppres tersebut ibarat angin surga bagi masyarakat Tionghoa karena kembali diberi kebebasan
untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya, termasuk merayakan Imlek secara terbuka dan
meriah. Sementara, Lan Fang merasa
sebagai anak yang keinginannya dikabulkan oleh sang ayah.
lampion tepat di depan Pasar Gede |
Sebagai seseorang yang
lahir dan besar dalam keluarga serta lingkungan yang 100% muslim dan dalam
tubuh saya sama sekali tak mengalir darah Tionghoa, saya tak pernah melihat atau
terlibat dalam kemeriahan Imlek. Hanya ada satu dua keluarga Tionghoa yang tinggal di kampung
sebelah. Otomatis, saya tak pernah secara langsung menyaksikan kemeriahan Imlek.
Bagi saya dulu, Imlek tak lebih dari sekadar libur nasional. Itu saja.
Namun sekian tahun
kemudian, setelah membaca catatan Lan Fang, saya menemukan makna lain. Imlek
selalu mampu menggiring ingatan saya pada Gus Dur, seorang “ayah” yang
mengabulkan keinginan “anaknya” bernama Lan Fang seperti ketika bapak saya
mengabulkan sesuatu yang sangat saya inginkan. Seiring
dengan hal itu, sejak tinggal di Yogyakarta,
saya menemukan kesempatan untuk berbaur dalam kemeriahan Imlek, salah satunya
dalam momen Grebeg Sudiro di Solo yang hanya butuh waktu satu jam untuk menempuh
jarak dari Yogyakarta dengan kereta api Prambanan Ekspress.
Adalah Sudiroprajan, salah
satu kelurahan di Kota Solo yang merupakan kawasan pecinan. Etnis Tionghoa
peranakan sudah puluhan tahun mendiami kawasan ini dan hidup berdampingan
dengan masyarakat Jawa. Perkawinan campuran antara Jawa-Tionghoa juga terjadi,
membentuk generasi dan akulturasi budaya sendiri, yang di antaranya terwujud
dalam Grebeg Sudiro. Grebeg sendiri merupakan tradisi khas Jawa untuk
menyambut hari-hari tertentu, misalnya Maulid, Suro, dan lain-lain. Sedangkan,
Grebeg Sudiro menjadi wujud akulturasi budaya baru yang dirayakan sejak tahun
2007.
gunungan buah di Grebeg Sudiro |
Tahun ini, Grebeg Sudiro
diperingati pada 22 Januari 2017 atau 7 hari sebelum Imlek. Beruntng saya bisa kembali menyaksikan acara ini seperti tahun sebelumnya. Meski cuaca panas dan semakin panas karena banyaknya orang yang bedesak-desakan di sekitar Pasar Gede, mereka tetap semangat menyelanggarakan acara tahunan ini. Namun ternyata, beberapa saat sebelum peserta pawai mulai berjalan, tiba-tiba hujan deras mengguyur Kota Solo.
Grebeg Sudiro diikuti oleh banyak pihak, baik etnis Jawa maupun Tionghoa. Bahkan, ibu-ibu penjual sayur di Pasar Gede tak mau ketinggalan untuk berpartisipasi dalam acara tahunan ini. Mereka menampilkan berbagai macam keseninan Jawa dan Tionghoa, mulai barongsai, tari tradisional, pakaian adat, kostum-kostum merah khas Imlek, dan yang tak ketinggalan adalah gunungan buah, sayur, serta kue keranjang yang menjadi kekhasan di Grebeg Sudiro.
Grebeg Sudiro diikuti oleh banyak pihak, baik etnis Jawa maupun Tionghoa. Bahkan, ibu-ibu penjual sayur di Pasar Gede tak mau ketinggalan untuk berpartisipasi dalam acara tahunan ini. Mereka menampilkan berbagai macam keseninan Jawa dan Tionghoa, mulai barongsai, tari tradisional, pakaian adat, kostum-kostum merah khas Imlek, dan yang tak ketinggalan adalah gunungan buah, sayur, serta kue keranjang yang menjadi kekhasan di Grebeg Sudiro.
Ibu-ibu penjual sayur di Pasar Gede bersiap mengikuti Pawai Grebeg Sudiro |
Gunungan tersebut diarak mulai
depan Pasar Gede, kemudian beranjak di jalan-jalan utama di sekitar Sudiroprajan, dan terakhir berhenti di Klenteng Tien Kok Sie di samping Pasar Gede. Satu per satu kelompok pawai melewati rute yang
telah ditentukan dengan kostum masing-masing. Bahkan, hujan deras waktu itu tak
menghalangi mereka untuk terus berjalan. Beberapa peserta pawai juga
membagikan angpau serta cokelat kepada penonton yang menunggu di pinggir jalan,
membuat kesan guyub dan rukun begitu terasa. Tionghoa-Jawa memang tidak sama,
tapi keduanya telah melampaui sekat hingga menjadi harmoni yang terwujud dalam
Grebeg Sudiro.
excited setelah mendapat angpau |
Hujan menjelang sore itu
tak kunjung berhenti dengan sempurna, masih menyisakan gerimis yang membasahi gunungan
dan kostum para peserta pawai Grebeg Sudiro. Para penonton menepi, mencari
naungan agar terhindar dari hujan. Sayup-sayup saya mendengar shalawat
dibacakan. Ya, benar, shalawat. Salah satu kelompok pawai memakai kostum ala
santri sambil mendendangkan shalawat. Melihat mereka, saya kembali teringat Gus Dur yang sosoknya tak bisa dipisahkan dari perayaan Imlek di Indonesia. Gus Dur, njenengan pasti tersenyum di sana, batin saya seolah berdialog dengannya.
Tak salah jika Gus Dur mencabut
Inpres No.14/1967. Sebab bagaimanapun, mereka yang disebut Tionghoa juga berhak merayakan
apa yang seharusnya dirayakan. Justru perayaan itu menciptakan harmoni,
mengukuhkan persatuan, serta mempererat kerukunan. Kemudian, saya kembali
teringat Lan Fang. Dia yang membuat saya melihat Imlek lewat perspektif yang
berbeda; dengan rasa, sebagaimana saya melihat Grebeg Sudiro sebagai sesuatu
yang bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan wujud nyata dari sebuah harmoni
antara Jawa-Tionghoa.
Tulisan ini diikutkan dalam kompetisi blog Festival Imlek Indonesia 2017
Informasi lebih lengkap, klik festivalimlekindonesia.com |
Seru banget ya Mb, sayang aku belum pernah lihat langsung.. Terakhir ke Solo lihat Festival Payung.. Salam kenal..
ReplyDeleteHi, Mbak. Salam kenal juga. Sesekali perlu ke Grebeg Sudiro, Mbak, ikut desak-desakan, panas-panasan, atau malah kehujanan. Hehee
DeleteDaaaaal palembangggg 😂😂😂
ReplyDeleteAku wis ngiler bayangin mi celor.
DeleteMestinya ngebayangin bisa SELPIH sama aku, biar menang muahahaha.
DeleteMie celor menanti.
banyak yg nyinyir (mungkin pengaruh pilkadal) untuk hunting lampion2 itu sampe melupakakan masjid yg dilewati -_-
ReplyDeleteSopo? Sopo sing nyinyir? *gemes
DeleteSiniihh... yang nyinyir ngopi dulu sama aku.
Believe it or not ...
ReplyDeleteSaya beruntung pernah mengenal alm. Lan Fang (Awal 90-an)
Waktu itu beliau belum terkenal. Seorang karyawati Bank.
Karyanya masih cerpen yang terbit di beberapa majalah terkenal saat itu.
Lan Fang ramah dan dia bergaul dengan siapa saja.
Ini sedikit tulisan mengenai Alm Lan Fang
https://theordinarytrainer.wordpress.com/2011/12/26/lan-fang/
Salam saya
Meski saya tidak mengenal Lan Fang secara personal, tapi merasa "dekat" dengannya lewat karya yang saya baca.
DeleteTerima kasih sudah mampir, Om.
tulisannya asik yun.. lomba ya semoga tembus :D
ReplyDeleteamin... amin
Deletemakasih, Alan.
jeng jeng di kota sendiri itu asik
ReplyDeleteSolo emang asyik buat jeng jeng. Kulinernya enak-enak.
Deletepastinya dong kak ayu
DeleteWah, aku belum pernah ikut kayak gini Mbak Ayun :)
ReplyDeleteMbak, aku follow, folbek ya Mbak :) tengkyu...
ReplyDelete