Kalian belum
pernah mendaki gunung mana pun?
Ayo, Anak muda,
negeri kita ini punya ratusan gunung, satu-dua bahkan ada di “halaman belakang
rumah” kita—saking dekatnya.
Dakilah gunung.
Bukan agar kita bisa berdiri di atasnya, untuk kemudian berfoto-foto, dan
dipamerkan di sosial media. Melainkan itu akan memberikan pengalaman baru yang
baik.
(Tere Liye)
Gunung
atau pantai? Saya selalu memilih pantai. Ya, saya adalah pencinta 0 Mdpl. Tak
masalah dengan kulit yang terbakar karena cuaca panas di pantai. Saya menyukai
pantai dengan segala panas dan asin airnya yang membuat kulit terasa lengket.
Tapi, tak ada salahnya kan mencoba petualangan lain, melihat alam dari sudut
pandang lain, dan mencari pengalaman baru? Maka, dipilihlah Gunung Andong
sebagai destinasi kali ini.
Dan
pagi itu, tepat tanggal 2 Juni 2015, saya berkemas. Dengan menggendong carrier
35 liter berisi logistik, jaket, selimut, dan perlengkapan lainnya, saya menuju
Stasiun Lempuyangan untuk berangkat ke Solo menggunakan Prameks. Rencana
awalnya, saya dan teman-teman di Solo akan berangkat ke Magelang jam 13.00. Kami
berempat—saya, Ika, Aji Mustika, dan Bayu—sepakat akan bertemu di Indomaret
Boyolali. Namun, sampai jam satu siang, Bayu tak bisa dihubungi, sementara saya
dan Ika sudah menunggu sejak tadi. Baru sekitar jam dua, Bayu berhasil
dihubungi via telepon dengan suara berat khas orang bangun tidur. Hahaha....
Betul dugaan kami, ternyata dia tidur.
Sekitar
jam tiga, kami pun berkumpul di meeting point yang telah disepakati
bersama. Usai berdoa, kami meluncur dengan dua motor menuju Magelang.
Perjalanan dari Boyolali, Salatiga, hingga Magelang memakan waktu sekitar 1,5
jam. Namun, kami berhenti sejenak untuk shalat Ashar, istirahat, menata barang
bawaan, dan sekalian shalat Maghrib di masjid yang terletak di perkampungan
sebelum basecamp, baru melanjutkan perjalanan ke basecamp yang
bernama Taruna Jaya Giri. Basecamp ini terletak di Dusun Sawit, Desa
Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang.
Peta jalur pendakian yang terdapat di basecamp |
Sampai
di basecamp, kami segera registrasi dengan tarif 3 ribu rupiah per
orang. Tarif parkir juga 3 ribu rupiah per motor. Basecamp ini juga
dilengkapi dengan toilet, warung makan, tempat istirahat, dan penyewaan
perlengkapan mendaki, seperti tenda, matras, senter, dan lain-lain. Kami juga
menyewa matras di basecamp ini.
Usai
istirahat sejenak di basecamp, inilah saatnya memulai pendakian. Sekitar
jam delapan malam, kami mulai mendaki. Dari balik pucuk-pucuk pinus, purnama
malam itu ikut menyaksikan langkah-langkah kami. Dan saya—yang baru pertama
kali mendaki gunung—nyaris merasa tak percaya bahwa saya bisa sampai di sini,
menikmati malam di alam terbuka dengan langkah-langkah menuju puncak.
Bagi
newbie seperti saya, Gunung Andong sangat recomended untuk
latihan mendaki, karena medannya tidak terlalu curam dan menantang, bahkan
jalan menuju puncak sudah berbentuk tangga sederhana. Namun, kita tetap tidak
boleh mengabaikan kehati-hatian, karena batu-batunya cukup licin dan siap
menggelincirkan siapa pun bila tidak hati-hati. Karena itulah, kami tetap
membawa senter sebagai penerang meski bulan purnama begitu setia menerangi
perjalanan kami.
Purnama menatap kami dari balik pucuk-pucuk pinus |
Bayu,
yang paling berpengalaman dalam pendakian, berjalan paling depan sambil membawa
senter. Saya berjalan di belakangnya, kemudian Ika, dan yang paling belakang
adalah Aji Mustika. Di sepanjang perjalanan, kami berkaliab-kali berpapasan
dengan para pendaki yang baru turun. Beberapa yang lain juga baru naik seperti
kami. Namun, kami berjalan sangat santai malam itu.
“Kita
tidak sedang mengejar sesuatu,” begitulah yang sering kami katakan di sepanjang
perjalanan. Beberapa kali kami berhenti untuk sekadar meneguk air mineral dan
makan cemilan sambil ngobrol. Perjalanan seperti ini memang tidak akan membuat
kami lekas sampai di puncak, namun justru membuat kami hemat tenaga dan tidak
terlalu capek. Sebab bagi kami, puncak bukan tujuan. Tujuan utama adalah pulang
ke rumah dengan sehat dan selamat. Maka, inilah cara yang kami pilih untuk
mendaki. Kami berjalan pelan-pelan sambil menikmati suasana alam. Sementara di
atas sana, purnama masih setia membagi cahayanya dari balik pucuk-pucuk pinus.
“Semangat...!!!
Dua tikungan lagi,” kata Bayu menyemangati.
Kami
terus berjalan membelah hutan dan malam yang temaram di bawah sinar bulan. Lalu
tiba-tiba, Aji Mustika nyeletuk setengah protes, “Katanya dua tikungan lagi....”
“Makanya,
jangan percaya ucapan pendaki. Hehehe...,” sahut Ika.
Kaki
sudah mulai terasa sedikit pegal. Tapi puncak tinggal sedikit lagi. Ya, sedikit
lagi. Meski puncak bukanlah tujuan, tapi mendaki gunung hingga puncak adalah
suatu kebahagiaan. Kami mengikuti petunjuk arah menuju puncak.
Selangkah...
dua langkah... tiga langkah... dan... tibalah kami di puncak setelah berjalan
kurang lebih dua jam. Puncak Andong malam itu tak begitu ramai, karena bukan weekend.
Berbeda jauh dengan kondisi ketika Ika dan Bayu ke sini beberapa minggu lalu. Tenda-tenda
para pendaki memenuhi puncak Gunung Andong hingga nyaris tak ada space
kosong. Tapi malam itu, kami bebas mencari tempat untuk mendirikan tenda. Kami
memilih tempat yang agak jauh dari puncak utama, yakni di bagian punggung, di
bawah puncak makam yang biasa diziarahi masyarakat.
Tenda
telah berdiri, kompor telah menyala, dan air telah mendidih diselimuti kabut
yang membalut puncak Andong. Aroma kopi menguar seiring kabut yang masih enggan
pergi. Kami menyesapnya pelan-pelan, di tengah cuaca dingin 17˚C, diiringi
lagu-lagunya Banda Neira dan Nicholas Saputra yang membacakan puisi-puisi Soe
Hok Gie. Sementara di atas sana, purnama masih setia menatap kami. Sinarnya yang
temaram menembus kabus tipis, seolah membagi kedamaian kepada setiap pendaki.
***
Saya terbangun ketika mendengar
percakapan Bayu dan Aji Mustika di luar tenda. Semalaman mereka menghabiskan
waktu di luar, menikmati kerlip bintang dan lampu-lampu di bawah sana setelah kabut
lenyap. Mereka ngobrol (dan curhat) berdua. Duh, romantis sekali. Hahaha....
Pagi itu, setelah shalat Subuh
berjamaah yang diimami oleh Imam Aji Mustika, kami bersiap menunggu matahari terbit.
Tuhan tidak akan menanyakan setinggi apa gunung yang kau daki. Tapi Dia akan menanyakan apakah kau masih shalat saat mendaki gunung itu. |
Ufuk
timur telah dipenuhi semburat warna jingga dan kebiruan, menandakan matahari sedang
bersolek sebelum menampakkan kecantikannya. Kami bergegas menuju puncak timur,
melangkah di antara tenda-tenda para pendaki yang juga bersiap menyambut
matahari terbit.
Semburat jingga di timur sana
semakin kentara. Perlahan, sorot sinar matahari mulai membentuk gradasi warna
dari balik awan yang tersibak. Dengan latar puncak Telomoyo, detik-detik
menjelang matahari terbit tampak begitu cantik. Gradasi warnanya lembut, namun
energinya mampu menerangi semesta. Ah, betapa Tuhan Maha kreatif, ya. Ini
memang matahari yang sama dengan yang saya saksikan setiap hari dari samping
kos, tapi kini saya menyaksiknnya dengan sudut pandang yang berbeda, di ketinggian 1726 Mdpl.
Beruntung sekali kami pagi itu, sebab kabut tak merenggut pandangan mata kami untuk menyaksikan kemegahan matahari terbit dari Puncak Andong. Kabut pagi lebih memilih Merapi-Merbabu untuk diselimuti. Kedua gunung itu berdiri gagah di sisi kanan kami. Puncaknya menjulang seolah mengundang setiap pendaki untuk datang. Sementara jauh di belakang kami, si kembar Sindoro-Sumbing seperti turut mengucapkan selamat pagi. Beberapa gunung di Jawa Tengah memang tampak dari puncak Gunung Andong, yaitu Gunung Telomoyo, Merapi-Merbabu, dan Sindoro-Sumbing.
Puncak Merbabu dan Merapi |
Sidoro-Sumbing di tengah lautan awan |
Setelah puas berfoto mengabadikan
matahari terbit dan menikmati buah-buahan yang saya bawa, kami kembali ke
tenda. Matahari sudah naik cukup tinggi ketika kami kembali menghidupkan kompor
dan memasak. Kali ini giliran Chef Ika beraksi. Ia akan memasak tumis jamur dan
brokoli. Saya dan Ika menyiapkan bumbu, sementara Bayu dan Aji Mustika memasak
nasi. And, guess what? Dengan semangat ’45, Aji Mustika mengaduk nasi di
dalam panci, sambil sesekali menambahkan air. Aduk terus... aduk terus... dan
terus... sampai akhirnya..., nasi itu tetap tidak matang!!! (Mungkin nasinya
lelah).
Meski nasinya #gagalmatang, namun
kami tetap lahap menikmati tumis jamur dan brokoli buatan Chef Ika. Mungkin dia
memasaknya dengan penuh cinta. Beda dengan dengan Aji Mustika yang masak nasinya
hanya pencitraan biar dikira bisa masak. Hehehe....
Menikmati masakan Chef Ika |
Setelah sarapan dan beres-beres
tenda, kami bersiap turun, tentu dengan membawa serta sampah di sekitar kami,
mulai botol air mineral, bungkus makanan, dan lain-lain. Sangat disayangkan
bila orang yang menahbiskan dirinya sebagai pendaki gunung, pencinta alam, backpacker,
traveler, atau sejenisnya, tapi membuang sampah sembarangan.
Bawa sampah dari gunung itu keren, lo! |
Banyak
sekali sampah plastik yang kami temukan di Gunung Andong, lalu kami bawa turun.
Padahal, sampah plastik butuh waktu sangat lama untuk diurai, bahkan lebih lama
daripada terurainya kenangan bersama sang mantan. Ah, abaikan! Maksud saya,
sampah plastik belum bisa diurai meski jasad orang yang membuang sampai telah
terurai ketika dia meninggal dunia suatu hari nanti.
Kami sampai di bawah ketika jam di
ponsel menunjukkan jam 10.30. Kurang lebih satu jam kami turun dari puncak
hingga pintu masuk. Kami berhenti sejenak di depan pintu masuk, sekadar
istirahat sambil makan gorengan dan mengabadikan gambar. Saya kembali menatap
puncak Gunung Andong dari bawah, seraya bergumam dalam hati, sampai jumpa
lagi, Andong. Kelak kita akan bersua dengan cerita yang berbeda.
See you next time, Mt. Andong. |
Dengan carrier yang masih
melekat di punggung, saya melanjutkan perjalanan pulang.
Di belakang,
Gunung Andong masih tegak berdiri penuh keanggunan.
Yogyakarta-Solo-Magelang,
Juni 2015
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...