Dari
ketinggian sekitar 896 Mdpl, momen tenggelamnya matahari menjadi sesuatu yang
istimewa, yang sangat sayang bila lensa kamera tidak turut mengabadikannya. Orang-orang
mulai mulai mengabadikan momen sekejab itu dengan kamera masing-masing, baik
kamera ponsel maupun kamera digital, begitu juga dengan saya.
Saat saya sedang asyik memotret
itulah, seorang bapak menyapa dengan ramahnya, “Mbak, yang tadi di bawah, ya?”
Saya mengangguk dan tersenyum. “Iya,
Pak.”
“Maaf, ya, tadi sopirnya nggak mau
berhenti, soalnya pas di tanjakan. Ya sudah, nanti turunnya bareng saja, Mbak.”
Tuhan,
terima kasih telah mengabulkan doaku Ashar tadi,
saya membatin. Ternyata dia adalah bapak-bapak yang tadi menawari tumpangan pick
up. Saya mengobrol dengan si bapak dan keluarganya, yang ternyata dari
Bekasi dan sedang berlibur di rumah orang tuanya di Gunungkidul.
Hari telah beranjak petang ketika
saya turun dari bukit dengan beberapa hasil jepretan sore ini. Senja telah
berganti warna, menghadirkan gradasi yang berpadu dengan warna langit. Saya sempatkan berfoto groufie
bersama dua gadis kecil dari keluarga baik hati yang memberi tumpangan kepada
saya.
Singkat cerita, saya telah berdiri
di mobil pick up yang akan membawa kami turun. Jika kamu tahu mobil yang
biasa dipakai mengangkut sapi ke pasar hewan, maka itulah yang saya naiki kala
itu. Mobil turun perlahan mengikuti liuk jalan berbatu. Saya menguatkan
pegangan pada besi yang terpasang di kedua sisi bak mobil agar tidak oleng saat
mobil melewati tikungan tajam. Sensasinya seperti naik wahana ombak di pasar malam.
Senja masih saja menampakkan
semburat kemerahan di langit barat. Saya
menatapnya sembari termenung di atas mobil pick up yang terus meliuki
banyak tikungan. Kalau dipikir, mungkin ini perjalanan “gila” yang saya
lakukan. Perjalanan heroik nan dramatis yang melelahkan namun terbayar dengan
sampainya saya di tujuan. Kemauan dan usaha akan selalu beriringan menyertai
keberhasilan. Ya, Tuhan akan selalu memberi jalan, bahkan dengan jalan yang
sebelumnya tak pernah kita sangka.
Di titik inilah, saya kembali
teringat quote Paulo Coelho dalam The Alchemist, “And when you
want something, all the universe conspires in helping you to achieve it.”
Hari telah petang ketika saya sampai
di perkampungan. Mata ini mulai memperhatikan rumah penduduk, mencari sebuah
rumah tempat Dhanica menitipkan motornya. Namun nihil. Sampai mobil berhenti di
tujuan, saya tidak menemukannya. Sementara, baterai ponsel saya sudah kehabisan
daya. Begitu juga dengan power bank yang saya bawa, yang tak sempat di-charge
penuh setelah turun dari Gunung Nglanggeran pagi tadi.
“Tadi nitipin motornya di mana,
Mbak?” tanya si ibu yang mungkin bisa membaca kebingungan di wajah saya.
“Aduh, saya lupa, Bu. Yang pasti di
dekat tanjakan.”
“Ya
sudah, istirahat sini dulu, Mbak. Shalat Maghrib di sini saja,” tawarnya.
“Mungkin
saya tunggu di balai desa saja, Bu. Tapi ini hp saya juga mati.”
“Kalau
gitu di sini aja dulu, Mbak. Sambil nge-charge hp.”
Saya
hampir mengiyakan tawaran si ibu, ketika seorang pemuda menyapa saya, “Mbak
Ayun, ya?”
“Iya.
Kenapa, Mas?” tanya saya heran. Perasaan, saya tidak pernah mengenalnya. Saya
juga bukan publik figur yang dikenal banyak orang. Hehehe....
“Ditunggu
temannya di atas,” jelasnya, “naik aja terus, rumah kedua setelah tanjakan.”
Fyuuuhh..., akhirnya saya bisa bernapas lega!
Saya
pun pamit dan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang baik hati yang telah
dikirim Tuhan untuk membantu saya hari ini.
Thanks,
God!
Tak
sampai lima menit jalan kaki, saya telah bertemu Dhanica di sebuah rumah
sederhana. Ternyata mas-mas di bawah tadi sempat mampir di rumah ini dan
dititipi pesan oleh Dhanica jika bertemu seorang gadis berjilbab, mengenakan
kemeja, dan berkacamata, yang tak lain adalah saya. Seorang ibu paruh baya
serta kedua anaknya menyambut saya ramah. Belakangan saya ketahui ia akrab
dipanggil Bu Rani. Ternyata... dan ternyata..., suami Bu Rani—namanya Pak
Bagong—sedang ke atas untuk menyusul saya. Ya Tuhan, baik sekali mereka.
“Khawatir,
Mbak, kalau cewek sendirian malam-malam begini. Takut ada ular dan gendruwo,”
terang Bu Rani sambil menyajikan segelas teh hangat untuk saya. “Kalau ada
gendruwo biasanya kayak ada angin gitu, tau-tau orang yang dibawa gendruwo
sudah sampai di tujuan.”
“Nggak
diculik sama gendruwonya, Bu?” saya penasaran.
“Nggak,
malah dianter sampai tujuan.”
Saya
menahan tawa seraya membatin, Baik banget sih gendruwonya. Tahu gitu tadi
minta anter gedruwo saja. Hahaha.... Edan!
Malam
itu, saya dan Dhanica ngobrol penuh keakraban dengan keluarga Bu Rani. Anak
bungsunya yang baru kelas dua SD bukanlah tipe gadis kecil pemalu, sehingga
kami bisa asyik bercanda meski baru kenal. Tak lama setelah itu, Bu Rani keluar
dari dapur sambil membawa nasi dan lain-lain.
“Ayo,
makan dulu, Mbak, seadanya.”
Di
meja telah tersaji nasi putih, tumis kangkung, sayur sup, dan sambal terasi.
Menu sederhana namun istimewa karena disajikan dengan penuh ketulusan. Malam
itu kami makan bersama seperti keluarga, meski baru kenal dalam hitungan jam.
Selang
beberapa menit setelah kami makan, Pak Bagong datang. Saya menceritakan
bagaimana kronologinya hingga saya bisa turun dengan cepat dan selamat, tanpa
harus jalan kaki seperti tadi, apalagi diantar gendruwo. Pak Bagong menghela napas lega.
Saya
dan Dhanica tengah bersiap pulang ketika beberapa orang datang. Ternyata mereka baru turun dari Embung Batara Sriten, dan salah satu di
antara mereka baru saja jatuh. Entah bagaimana kronologinya, yang pasti lutut
pemuda itu terluka dan berdarah. Pak Bagong membantu mengecek motornya,
lagi-lagi motor matic. Dan masih menurut Pak Bagong, seharian tadi
memang banyak kejadian serupa.
Setelah
dipastikan motor tidak apa-apa, mereka pun pulang. Tak lama setelah itu,
saya dan Dhanica juga pulang dengan segudang cerita dan pelajaran yang kami
petik dari perjalanan kali ini.
Lantas,
apakah saya kapok datang ke Embung Batara Sriten? Ah, tentu tidak. Bahkan jika
ada yang mengajak saya untuk ke sana lagi, tentu saya akan berangkat dengan
senang hati. Sebab, tak ada yang perlu disesalkan dengan sebuah perjalanan, justru
setiap perjalanan akan memberi pengalaman, petualangan, dan cerita yang berbeda
meski destinasinya sama dengan sebelumnya.
Yogyakarta, Juni 2015
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...