"And when you
want something, all the universe conspires in helping you to achieve it." (Paulo Coelho)
Langkah-langkah kakinya terus
menapaki jalan menanjak dan berbatu yang tak dia ketahui seberapa jauh lagi untuk
sampai ke tujuan. Keringat tak hanya membasahi tubuhnya, tapi juga menetes dari
pelipisnya yang terbalut jilbab bermotif bunga-bunga. Sesekali dia meneguk air
mineral yang dia bawa, lalu kembali melangkah bersama sandal gunung yang setia
menemani perjalanannya.
Matahari semakin bergeser ke barat, mengintainya
lewat cahaya dari celah pepohonan di kiri jalan. Dan... dia terus berjalan. Sendirian.
Sementara, motor-motor beberapa kali lalu-lalang dengan pengendara yang selalu
berboncengan. Berpasangan. Dia... seperti seorang gadis yang baru saja
bertengkar dengan pacarnya dan putus cinta, lalu jalan sendirian dengan harapan
sang (mantan) pacar akan mengejarnya. Bedanya, wajahnya basah oleh keringat,
bukan air mata.
Kau tahu siapa dia?
Dia... adalah seorang jomblo
traveler—demikian bos sebuah penerbitan buku menyebut gadis itu—yang tulisannya
sedang kau baca.
Hei, kau boleh tertawa atau bahkan
menertawakannya.
***
Jalan Jogja-Wonosari tak terlalu
padat siang itu. Dengan motor matic-nya, Dhanica memboncengkan saya
menuju Jogja lantai dua alias Gunungkidul. Tujuan kami adalah Embung Batara
Sriten di Desa Pilangrejo, Kecamatan Nglipar. Begitu sampai di pertigaan
Sambipitu sebelum kota Wonosari, kami belok kiri mengikuti arah ke Nglipar. Sesekali
saya mengecek Google Map seraya menjadi navigator abal-abal untuk memastikan
bahwa kami tidak nyasar. Namun, kami lebih sering ber-GPS ria alias Gunakan Penduduk
Setempat untuk bertanya.
Sesampainya di pertigaan besar, kami
mengikuti arah menuju Cawas, lurus hingga bertemu pertigaan kecil di depan
balai desa Pilangrejo di sebelah kiri. Di pertigaan ini juga terdapat petunjuk
arah menuju Embung Batara Sriten. Ikuti saja petunjuk arah di sepanjang jalan
tersebut.
Petunjuk arah yang terletak di pinggir jalan raya |
Setelah beberapa ratus meter melewati
jalan beraspal, saatnya petualangan dimulai. Pada tanjakan pertama, saya—dan beberapa
orang yang membonceng motor—lebih memilih turun dari boncengan dan jalan kaki
karena khawatir motor tidak kuat. Pada tanjakan kedua yang disertai tikungan
tajam, saya juga turun. Namun pada tanjakan ketiga, kami mulai ketar-ketir saat
sebuah pick up turun dengan motor matic yang bertengger manis di
baknya. Baru saja terjadi kecelakaan di atas sana ketika pengendara matic
tersebut turun. Entah bagaimana detail kejadiannya, yang pasti motor tersebut
rusak, namun untunglah pengendaranya selamat.
“Ngeri kalau pakai matic.
Naiknya masih mungkin, tapi turunnya itu yang bahaya. Sering ada kejadian rem
ngeblong, bahkan pernah ada yang meninggal,” tutur seorang bapak-bapak yang kami
temui jelang sore itu.
Serombongan bapak-bapak yang naik
bersama kami akhirnya memilih balik kanan. Bapak-bapak itu saja balik kanan,
apalagi kami yang cewek-cewek ini. Keinginan untuk menjejakkan kaki di puncak
tertinggi Gunungkidul sebenarnya masih tetap bercokol kuat di hati, but
safety is number one. Dan..., kami pun menemukan solusi. Jalan kaki!
Dhanica pun turun mengendarai motor matic-nya,
lalu menitipkanya di rumah warga. Kami berjalan menuju Embung Batara Sriten
tanpa pernah tahu berapa kilometer jarak menuju embung di dataran paling tinggi
tersebut. Namun, belum setengah kilometer kami berjalan, Dhanica mulai
ngos-ngosan. Diteguknya air mineral yang ia bawa dan duduk di tepi jalan.
“Santai saja, nggak usah ngoyo. Pelan-pelan
nanti juga sampai,” saya berusaha menyemangati.
Dhanica bangkit dan kembali
melangkah. Tapi..., belum seratus meter ia sudah ngos-ngosan lagi. Wajahnya
yang berbingkai pashmina dipenuhi keringat.
Sesaat sebelum Dhanica memutuskan balik kanan |
Kali ini ia
berhenti agak lama di tepi jalan, hingga akhirnya ia memutuskan, “Kamu naik aja,
Yun. Aku mau turun.”
“Hah? Serius?!” Saya terbelalak
kaget.
“Iya, daripada entar aku pingsan di
atas. Udah deh, naik aja, tanggung sudah sampai sini. Senja di sana pasti
bagus.”
Saya menatap Dhanica, tidak tega
jika mengajaknya naik, sementara ia kesusahan mengatur napas.
“Sudaahlah, naik saja. Aku tunggu di
bawah, di tempat nitipin motor,” katanya seraya beranjak.
Saat itu jam menunjukkan pukul
15.15, ketika saya mulai melanjutkan perjalanan sendirian. Jalanan sepi,
menanjak, berbatu, dan ngeri membayangkan jatuh di sini. Meski seorang teman
pernah berkata, “asal nggak jatuh ke jurang”, tapi menurut saya jatuh dari
tanjakan 45˚ yang dipenuhi batu ini pasti sudah sangat cukup membuat tubuh
siapa pun penuh luka, baik luar maupun dalam.
Beberapa
orang yang berpapasan dengan saya selalu bertanya, “Kok jalan, Mbak? Sendirian,
Mbak?” Entah berapa kali saya menjelaskan hal yang sama kepada orang yang
berbeda. Kadang beberapa motor juga melintas, dan pengendaranya menatap penuh
tanya ketika melihat seorang gadis berjalan kaki sendirian di tempat seperti
ini. Saya tak ambil pusing dengan keheranan mereka. Yang penting sampai ke
tujuan! Demikian tekad saya. Meski belum ada tanda-tanda bahwa tujuan sudah
dekat, namun saya berusaha menyugesti diri sendiri. Ayo... sedikit lagi,
sebentar lagi sampai. Sekarang nikmati dulu perjalanannya.
Saya
terus melangkahkan kaki tanpa peduli sudah berapa kilometer jarak yang saya tempuh. Jujur,
saat itu saya berharap ada seorang malaikat penolong yang mau memberi
tumpangan. Hingga pada suatu tanjakan, sebuah mobil pick up melintas di
samping saya. Seorang bapak yang berdiri di bak mobil itu berkata setengah
berteriak kepada saya, “Melu, Mbak?”
“Nggeh,
Pak,” jawab saya penuh harap seraya mempercepat langkah.
Namun...,
alih-alih berhenti, mobil itu terus melaju meninggalkan asap dari knalpot yang
menyesaki paru-paru dan harapan palsu yang menyesaki hati. But, the show
must go on! Saya terus menyeret langkah meski butiran peluh berkali-kali
menetes. Ternyata saya sudah berjalan kaki sekitar satu jam tanpa berhenti sama
sekali.
Sesampainya
di perkampungan bagian atas, saya mengucap permisi kepada ibu-ibu yang duduk di
depan rumahnya yang sederhana. Dan, bisa ditebak, pertanyaan yang sama kembali
terulang. Setelah saya jelaskan bla... bla... bla..., si ibu berkata, “Diterke
po, Mbak?”
“Nopo
tesih tebih, Buk?” tanya saya.
“Iseh
separo perjalanan, Mbak.”
“Nopo
enten ojek?”
Lalu,
si ibu memanggil suaminya dan meminta si suami mengantar saya.
Singkat
kata, saya telah duduk manis di boncengan motor. Si bapak segera tancap gas bak
Valentino Rossy. Dengan sangat lihai dan pede mengendarai motor di jalan
berkelok penuh batu, tanjakan, dan tikungan tajam, ia berani ngebut karena
sudah mengenali medan.
“Berapa,
Pak?” tanya saya yang duduk di belakang si bapak.
“Sak-sak
e, Mbak. Lha wong aku yo sisan piknik,” jawabnya.
Sekitar
dua puluh menit perjalanan yang saya tempuh bersama si bapak. Dan... sampailah
saya di Embung Batar Sriten. Setelah mengucapkan terima kasih dan memberi
selembar uang 20 puluh ribu, saya segera berjalan menuju Embung Batara Sriten
yang tak jauh dari parkiran.
Saya
tertegun sejenak sembari menatap air embung yang berwarna kebiruan. Akhirnya...,
saya sampai di sini. Ada keharuan yang tiba-tiba merebak, mengingat perjalanan
saya ke sini tak bisa dikatakan mudah. Angin semilir berembus, begitu menyejukkan.
Melenyapkan lelah setelah perjalanan panjang. Sungguh, saya pengen sujud syukur
rasanya. Perjuangan ini tidak sia-sia.
Saya
segera ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu shalat Ashar di pendopo yang
Maret lalu digunakan sebagai tempat peresmian Embung Batara Sriten oleh Sultan.
Usai shalat Ashar sore itu, saya berdoa dan berharap dengan sangat agar Gusti
Allah memudahkan saya dalam perjalanan pulang nanti. Ngeri juga kalau saya harus
berjalan sejauh itu sendirian di tengah gelap malam. Saya berdoa dengan penuh
kesungguhan, bahkan melebihi kesungguhan doa seorang jomblo minta jodoh. Sungguh!
to be continued....
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...