Gerimis turun ketika saya baru akan keluar dari Masjid Perak Kotegede sore itu. Hanya sebentar, namun cukup memberi sedikit kesegaran setelah panas terik sepanjang siang. Saya melangkah keluar dari masjid, menyusuri Jalan Mondorakan, lalu menyeberang ke Jalan Masjid Mataram yang menuju ke kompleks Masjid Gedhe Mataram. Jalan sempit yang diapit perkampungan ini cukup hits sebagai tempat hunting foto. Pun sore itu, banyak anak muda berfoto berlatar rumah-rumah penduduk dengan pintu dan jendela tuanya yang khas.
Jalan Masjid Mataram |
Untuk kesekian kalinya, Kotagede menjadi pelarian sejenak di akhir pekan ketika saya ingin menikmati suasana baru. Membingkai Kotagede memang tak pernah ada habisnya. Selalu ada rasa yang berbeda meski saya mendatangi tempat yang sama. Kawasan cagar budaya ini kaya akan sejarah, budaya, dan cerita. Sebab di sinilah, cikal bakal Mataram Islam mulai berdiri.
Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.id |
Berawal dari tanah perdikan pemberian Sultan Hadiwijaya dari Pajang, Ki Ageng Pemanahan mulai membabat alas mentaok pada tahun 1550an. Membangun pemukiman bernama Mataram, lengkap dengan pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi. Lalu terciptalah peradaban yang mengundang banyak pendatang. Lambat laun, daerah yang dulunya adalah hutan belantara berubah menjadi kota di bawah kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan.
Tahun berlalu. Sepeninggal Ki Ageng Pemanahan, Danang Sutawijaya menggantikan ayahnya. Dialah yang kemudian mendirikan Mataram Islam, menjadi raja pertama yang bergelar Panembahan Senopati. Konon, dia juga menemui Kanjeng Ratu Kidul untuk memperoleh pengakuan sebagai raja. Sebagai raja pertama dari Kerajaan Mataram Islam, Panembahan Senopati membangun Benteng Cepuri yang mengelilingi keratonnya. Pemerintahannya berlangsung pada tahun 1587–1601.
Catur Gatra Tunggal di Kawasan Cagar Budaya Kotagede
Tata ruang kerajaan-kerajaan di Jawa banyak yang menggunakan konsep catur gatra tunggal. Begitu juga dengan Kerajaan Mataram Islam di Kotagede. Konsep ini menggambarkan empat elemen yang membentuk satu kesatuan yang saling terhubung. Unsur pertama adalah keraton sebagai tempat tinggal raja sekaligus tempat menjalankan pemerintahan. Unsur kedua adalah alun-alun yang merupakan tempat sosialisasi, juga tempat raja berinteraksi dengan rakyatnya. Unsur ketiga adalah masjid sebagai lambang unsur religi yang menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Dan terakhir adalah pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Sayangnya, keraton dan alun-alun Kerajaan Mataram Islam di Kotagede sudah tidak tersisa. Selama berpusat di Kotagede, Mataram Islam dipimpin oleh tiga raja secara turun-temurun, mulai Panembahan Senopati, Raden Mas Jolang, dan Sultan Agung yang memindahkan keraton Mataram ke Kerto, Pleret, pada tahun 1617.
Saat ini, yang tersisa dari alun-alun dan keraton hanyalah toponim, yaitu Kampung Daleman dan Kampung Alun-Alun. Kampung Daleman inilah lokasi keraton Mataram Islam yang dibangun oleh Panembahan Senopati. Sedangkan Kampung Alun-Alun dulunya merupakan lokasi alun-alun Kerajaan Mataram Islam.
Masjid Gedhe Mataram Kotagede |
Dua dari catur gatra lainnya yang masih terawat dan berfungsi dengan baik adalah Masjid Gedhe Mataram dan Pasar Legi Kotagede. Gapura masjid bercorak paduraksa yang dihiasi ukiran khas Hindu-Budha. Bukan tanpa maksud, namun ada pesan toleransi yang disematkan untuk menghormati pemeluk Hindu dan Budha yang turut membantu membangun masjid.
Gapura Paduraksa di kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotegede |
Tak jauh dari masjid, gapura lain menjadi penghubung antara masjid dan kompleks makam raja-raja Mataram. Di sinilah Panembahan Senopati dikebumikan. Area masjid dan makam yang berdekatan menggambarkan bahwa saat kita mendekatkan diri pada Tuhan, kita juga diingatkan bahwa perjalanan hidup akan berakhir dengan kematian. Lalu kembali kepada-Nya.
Di sebelah selatan tak jauh dari pintu masuk area pemakaman, terdapat sendang bernama Sendang Seliran. Secara bahasa, seliran berarti badan. Dinamakan demikian karena konon, sumber air sendang tersebut berasal dari bekas hentakan kaki Panembahan Senopati.
Gapura menuju Sendang Seliran |
Catur gatra yang terakhir adalah pasar. Seperti namanya, Pasar Legi, setiap Legi, pasar ini lebih ramai daripada biasanya. Banyak penjual burung, akik, perkakas, dan masih banyak lagi yang khusus berjualan di pasar ini setiap Legi. Geliat ekonomi warga begitu terlihat di sekitar pasar ini, setiap hari. Bahkan dari pagi hingga petang. Jika di pagi hari kebanyakan para pedagang sayur menggelar dagangannya, pada siang hingga sore hari, pasar ini menjadi destinasi wisata kuliner. Mulai jajan pasar dari pagi hingga malam, es dawet, gorengan, dan berbagai jenis lauk pauk serta sayur matang siap santap. Semua serbaada di pasar yang sudah beroperasi sejak ratusan tahun lalu ini.
Pasar Legi di sore hari |
Kotagede tidak hanya menjadi kawasan cagar budaya Indonesia yang kaya akan peninggalan Mataram Islam, tetapi juga banyak rumah kuno tradisional yang menjadi ciri khas Kotagede sebagai kota tua. Sepanjang jalan, bahkan di gang-gang sempit yang tak bisa dilalui mobil, nuansa kuno masih kental terlihat pada rumah-rumah dan pertokoan.
Bangunan-bangunan tua itu mengajak siapa pun menyusuri lorong waktu menuju masa lalu. Gang-gang sempit bak labirin yang menyesatkan, sekaligus memberi petualangan tak terlupakan. Ditambah keramahan warga yang tak segan menyambut dengan senyum dan sapa. Bahkan kucing belang di sebuah gang juga mengeong seolah menyapa. Ini juga yang menjadi alasan saya tak bosan menyusuri Kotagede meski sudah berkali-kali melakukannya. Entah bersama komunitas, mengantar teman dari luar kota, atau sekadar mencari pelarian sejenak di akhir pekan. Kotagede menjadi salah satu tempat favorit saya di Jogja. Dan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 186 Tahun 2011, Kotagede termasuk satu dari ada enam kawasan cagar budaya. Lima lainnya adalah Keraton, Malioboro, Pakualaman, Kotabaru, dan Imogiri.
Merawat Cagar Budaya, Sebuah Tugas Bersama
Merawat dan melestarikan cagar budaya merupakan tugas yang melibatkan banyak orang, baik pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah bertugas membuat peraturan, sosialisasi, memberikan perlindungan, mengembangkan dan memanfaatkan. Masyarakat pun turut berperan, baik untuk melindungi, merawat, serta memanfaatkan.
Merawat Cagar Budaya, Sebuah Tugas Bersama
Merawat dan melestarikan cagar budaya merupakan tugas yang melibatkan banyak orang, baik pemerintah maupun masyarakat. Pemerintah bertugas membuat peraturan, sosialisasi, memberikan perlindungan, mengembangkan dan memanfaatkan. Masyarakat pun turut berperan, baik untuk melindungi, merawat, serta memanfaatkan.
Sayangnya, banyak cagar budaya yang belum terawat dengan baik. Berdasarkan data cagar budaya yang diolah oleh Lokadata Beritagar.id, ada 17,2% cagar budaya yang tidak terawat. Bahkan kebanyakan dalam kondisi yang kotor, lapuk, rapuh, dan sudah hilang separuh bagian. Sedangkan 52,5% lainnya masih terawat meskipun sebagian di antaranya sudah tak lagi utuh.
Jaga Kebersihan
Saat ini, menjaga kebersihan dengan membuang sampah pada tempatnya saja tidak cukup, tetapi sebisa mungkin kita harus benar-benar mengurangi benda-benda yang akan menjadi sampah. Begitu juga saat berkunjung ke cagar budaya. Usahakan tidak meninggalkan sampah sama sekali. Misalnya, dengan membawa botol air minum sendiri agar tidak perlu membeli air minum kemasan yang botolnya berpotensi mengotori kawasan cagar budaya jika dibuang sembarangan.
Rumah tradisional "Between Two Gates" yang bersih dan asri di Kampung Alun-Alun Purbayan |
Jangan Melakukan Vandalisme
Vandalisme yang kerap dilakukan adalah menuliskan nama di tempat-tempat yang pernah dikunjungi. Entah di batu atau tembok. Cukuplah mengabadikan momen lewat foto, tak perlu menuliskan nama atau kata-kata lain yang mengotori kawasan cagar budaya.
Bersikap Sopan dan Berhati-hati
Saat asyik berfoto, terkadang orang lupa sehingga kurang hati-hati atau bahkan bersikap tidak sopan. Inilah yang perlu diperhatikan saat mengunjungi kawasan cagar budaya yang dipenuhi benda-benda cagar budaya yang dilindungi. Jika tidak hati-hati, dikhawatirkan kita menyenggol benda-benda tersebut yang rentan rusak karena sudah berusia ratusan tahun.
Vandalisme yang kerap dilakukan adalah menuliskan nama di tempat-tempat yang pernah dikunjungi. Entah di batu atau tembok. Cukuplah mengabadikan momen lewat foto, tak perlu menuliskan nama atau kata-kata lain yang mengotori kawasan cagar budaya.
Bersikap Sopan dan Berhati-hati
Saat asyik berfoto, terkadang orang lupa sehingga kurang hati-hati atau bahkan bersikap tidak sopan. Inilah yang perlu diperhatikan saat mengunjungi kawasan cagar budaya yang dipenuhi benda-benda cagar budaya yang dilindungi. Jika tidak hati-hati, dikhawatirkan kita menyenggol benda-benda tersebut yang rentan rusak karena sudah berusia ratusan tahun.
Kesopanan juga perlu diperhatikan. Misalnya, ketika di kawasan cagar budaya tersebut sedang dilakukan upacara adat, ibadah, dan lain-lain. Saat berkunjung ke kompleks makam raja-raja Mataram beberapa bulan lalu, bertepatan dengan upacara Nyadran yang dilaksanakan oleh para abdi dalem. Banyak pengunjung dan fotografer saat itu. Namun semua tetap bersikap sopan saat mengambil gambar tanpa mengganggu jalannya upacara Nyadran.
Tidak Mengambil dan Merusak Benda Cagar Budaya
Sekecil apa pun, jangan pernah mengambil benda cagar budaya. Tindakan ini bisa dikategorikan pencurian. Larangan perusakan dan pencurian benda cagar budaya disampaikan dalam Pasal 66 UU 11/2010.
Tidak Mengambil dan Merusak Benda Cagar Budaya
Sekecil apa pun, jangan pernah mengambil benda cagar budaya. Tindakan ini bisa dikategorikan pencurian. Larangan perusakan dan pencurian benda cagar budaya disampaikan dalam Pasal 66 UU 11/2010.
1. Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.
2.Setiap orang dilarang mencuri Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.
Jika melanggar, sanksinya adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500 juta dan paling banyak Rp5 miliar.
Mematuhi Peraturan yang Berlaku
Setiap tempat punya aturan yang berbeda-beda. Misalnya ada ruang atau tempat tertentu di kawasan cagar budaya yang tidak boleh difoto, tidak boleh berisik, harus melepas alas kaki, dan lain-lain. Patuhilah aturan-aturan tersebut. Seperti para pengunjung yang ingin berziarah ke makam raja-raja Mataram, diberlakukan aturan kepada mereka mengenakan pakaian adat Jawa. Yaitu surjan bagi laki-laki dan kaim kemben bagi perempuan.
Cari Tahu Sejarahnya, dan Ceritakan
Sewalah guide yang dapat menceritakan sejarah cagar budaya yang dikunjungi. Di kawasan cagar budaya Kotegede ini, pada kunjungan pertama bersama Komunitas Malam Museum, kami menggunakan guide warga lokal yang mengetahui sejarah Kotagede secara mendalam. Menarik sekali menyimak penuturan para guide ini, seperti didongengi. Dari cerita-cerita yang disampaikan oleh para guide, saya menceritakan ulang untuk pembaca blog ini agar cerita-cerita tersebut tetap hidup, dikenal, dan membuat orang tertarik menjelajah Kotagede yang penuh sejarah.
Kalau menurut kalian, kontribusi apa yang kita lakukan untuk merawat dan memelihara cagar budaya? Yuk ceritakan dan ikuti lombanya.
Tak salah bila Jogja disebut daerah istimewa, karena memang budaya yang terjaga pun sangat istimewa. ♡
ReplyDeleteHai, Mbak, kalo main-main ke Jogja, jangan lupa mampir ke Kotagede.
DeleteWowww.. dana dan petugas tidak berdasarkan hukum :D
ReplyDeletetapi memang ya, dibutuhkan perhatian lebih ya buat melestarkan cagar budaya kita, khususnya untuk daerah Jogja.
Dan salut akan perhatian lebih terhadap cagar budaya di sana :)
Yup, di Jogja banyak cagar budaya.
DeleteAahhh jadi rindu kesana. Sungguh suasananya beneran enak dan tenang. Jangan sampe cagar budaya kotagede menjadi musnah. Harus bener bener kita pelihara.
ReplyDeleteSini, Mbak, main-main ke Jogja, mampir Kotagede.
Deleteaku baru tau kalo Kota Gede punya cagar budaya, ku kira hanya punya kerajinan perak :)
ReplyDeletePunya cagar budaya, kerajinan perak, dan cokelat Monggo. hehehe...
DeleteJadi ingat pernah studi wisata saat kuliah di kampus Udayana tahun 1996 ke Jogja dan 5 hari saya dan teman-teman nguprek Jogja. Kebetulan kelompok saya dapat tema kerajinan peraknya. Dan saya baru tahu lengkap sejarahnya dari artikel ini.
ReplyDeleteUlasan dan tips rawat cagar bufaya yang lengkap dan menarik mbak. Saya setuju dan tambahannya menelasankan cara merawat ke anak-anak kita. Mengajak menunjungi, menceritakan sejarahnya dan meneruskan nilai-nilai kebaikannnya
Wah, jadi mengenang masa kuliah ya, Mbak. Tahun segitu aku masih ingusan. Wkwkwkk
DeleteWahh mbaa, baca ini jadi makin pengen mampir ke Jogja. Dan, aku baru tahu loh di Kota Gede ada candi yang secara fisik masih berdiri kokoh seperti ini. Dan, memang harus dijaga ya mba, jangan sampai terabaikan khususnya oleh pemerintah setempat.
ReplyDeleteSebenarnya bukan candi sih, Mbak, tapi gapura.
DeleteWah, padahal aku punya foto2 Masjdi Kotagede tuh. Bagus banget kuno tapi indah. Pilar2 di dalamnya besar2 ya kayu jati semua sepertinya. Paling sebel tuh sama vandalisme. Bangunan cagar budaya udah cakep2 eh malah ditulis2 dengan kalimat2 kotor yang merusak benda bersejarah. Kita mesti sering ajak2 keluarga berkunjung ke museum dan candi2 serta masjid2 tua supaya tahu sejarah ya mbak :)
ReplyDeleteIyaaa, alay banget yg suka nulis2 namanya (dan pasangan) di tempat2 wisata. Malah ngerusak pemandangan.
DeleteSetuju banget kalau cagar budaya memang tugas bersama untuk melestarikannya. Kalau lihat tabel penyebab cagar budaya tidak terawat ada dana dan petugas di bagian atas. Tetapi, ada petugas dan ada dana juga di bagian bawah. Apakah itu hal yang berbeda, Mbak?
ReplyDeleteIya, Mbak. Ada cagar budaya yang kategori masalahnya adalah petugas dan dana, ada yang petugas saja, dan ada yang dana saja.
DeleteWah, aku ada rencana pengen ke Yogya lagi nih, bisa jadi salah satu destinasi plus ngenalin sejarah ke anak-anak juga.
ReplyDeleteKalo ke sini enaknya pagi atau sore, Mbak. Sekalian jajan di Pasar Legi.
DeleteBaca ini serasa ikutan jalan-jalan juga..
ReplyDeleteJalan-jalan di cagar budaya itu seru mbak..
Aku juga sering gitu, aku suka banget sama sejarah..
Jadi saat ke cagar budaya, berasa membaca sejarahnya juga..
Wah, aku ternyata masih belom tahu banyak tentang Kota Gede ini. Kalo gak ada tulisan ini, asli gak tahu. Semoga ya, dengan banyaknya dituliskan mengenai cagar budaya, kita semua jadi wis waspada di dalam merawatnya. Supaya tetap lestari dan tidak punah.
ReplyDeleteGood Job Kak...
ReplyDeleteSaya belum pernah sampai ke Kota Gede, smoga ada rejeki kesana. Suatu hari pengen melihat langsung sejarah islam di kerajaan Mataram.
ReplyDeleteSayang ya alun alun sama keraton dan alun alun Mataram sudah tak bersisa lagi.
Wah lombanya udah berakhir ya. Setuju banget untuk menjaga Cagar budaya yg kita miliki agar punya cerita buat anak cucu
ReplyDeleteYogya, nantikan aku berkunjung kembali. Emang ya mbak, banyak bener cagar alam di kota Gede ini yang perlu dilestarikan.
ReplyDeletesaya sering bingung maksud mereka yg Vandalisme itu untuk apa? toh kalaupun ada nama mereka, lalu kenapa? lebih baik kan terabadikan dalam jepretan kamera dan tidak merusak apapun
ReplyDeleteSudah lama saya tidak menyaksikan pagelaran budaya seperti ini mba.
ReplyDeletePadahal ini sesuatu acara yang sangat menyenangkan dan terlebih melestarikan budaya.
Sedih banget kalau ada sampah trus ada vandalisme di kota atau area yang bagusnya kek gtu. Sarat peninggalan sejarah ya mbak. Semoga masyarakat maskin sadar kewajiban mmemelihara peninggalan sejarah di areanya dna pemerintah makin tegas kasi sanksi buat yang melanggar. Pengen sekali deh eksplore Kota Gede :D
ReplyDeleteMau juga jalan-jalan ke Kota Gede bareng keluarga di liburan tahun baru nanti. Pasti akan menambah wawasan dan pengetahuan juga ya. Ga sabar deh untuk segera ke sana
ReplyDeleteWah bagi pecinta sejarah kerajaan Indonesia tempat ini pasti kayak surga ya. Karena masih kental banget budaya dan suasana kerajaannya. Tapi bener banget mbak kalau ke tempat wisata seperti ini jangan lupa untuk tetap menjaga perilaku kita agar tidak merusak apa yang masih ada.
ReplyDelete