sumber gambar: ubudwritersfestival.com |
Tahun 2010, saat itu saya masih berstatus sebagai mahasiswi. Dengan modal nekat, saya mengumpulkan cerpen-cerpen yang pernah dimuat di koran lokal, media online, juga cerpen-cerpen alay yang belum pernah saya publikasikan, lalu mengirimkannya ke panitia sebagai syarat seleksi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2010. Saya lupa kapan tepatnya mengetahui acara bertaraf internasional yang diadakan setiap tahun di Ubud, Bali, tersebut. Namun yang jelas, saya sudah tahu adanya festival bernama UWRF sebelum tahun 2010 dan berjanji pada sendiri untuk mengikuti acara bergengsi ini.
Setelah sekian lama menunggu dengan harap-harap cemas, penantian itu pun dipungkas oleh sebuah email berisi daftar nama cerpenis/novelis/penyair yang lolos UWRF 2010. Ada nama saya? Haha... tentu saja! Tidak ada! Kecewa? Sedikit. Iri pada mereka yang lolos? Pastinya! Tapi saya sadar, karya saya memang ecek-ecek.
Tiga tahun setelahnya, saya kembali menantang diri sendiri untuk mengikuti seleksi UWRF 2013. Semua dipersiapkan, termasuk mental. Iya, persiapan mental jika saya harus kembali gagal. Dan memang benar, persiapan saya tidak sia-sia. Nama saya tidak ada di daftar penulis terpilih.
Setelah itu, saya lebih fokus menulis novel yang kemudian terbit pada Desember 2013. Tahun 2014, saya absen dari seleksi UWRF, meskipun masih menulis cerpen. Tahun ini, sebuah berkah luar biasa diberikan oleh Tuhan kepada saya. Pada Oktober 2014, novel saya terpilih sebagai penerima penghargaan dari Balai Bahasa DI. Yogyakarta untuk kategori novel remaja terbaik.
Peenyerahan Penghargaan Bahasa dan Sastra dari Balai Bahasa DIY 2014 |
Momen ini sedikit banyak mulai melecutkan semangat saya untuk kembali ke kancah UWRF. Ditambah, saya yang saat itu aktif sebagai mentor di Komunitas Kampus Fiksi, beberapa kali berinteraksi dengan para sastrawan dan penulis ternama seperti Agus Noor, Seno Gumira Aji Darma, Putu Fajar Arcana, Bernard Batubara, dan lain-lain saat mereka diundang untuk mengisi pelatihan menulis di Kampus Fiksi.
“Cerpen-cerpen yang lolos UWRF itu biasanya cerpen-cerpen yang mengangkat nilai-nilai lokal atau budaya Indonesia,” ujar Bara saat saya menjemputnya untuk sharing di acara Kampus Fiksi. Sebelumnya, Bara memang sudah pernah lolos UWRF.
Januari 2015, delapan cerpen akhirnya saya kirim ke panitia UWRF. Semua bernuansa lokal dan beberapa mengangkat budaya Jember, kampung halaman saya. Setelah mengirimkan cerpen-cerpen tersebut, saya berusaha melupakannya dan tidak menunggu-nunggu pengumuman. Walaupun kenyataannya saya tidak bisa benar-benar lupa.
Dibanding tahun-tahun sebelumnya, saya merasa usaha saya untuk ikut UWRF tahun ini lebih sungguh-sungguh. Saya sampai menolak beberapa tawaran menulis dan melewatkan beberapa lomba karena ingin fokus menyelesaikan delapan cerpen untuk UWRF. Tapi bagaimana pun juga, saya tetap harus siap kecewa. Sudahlah, nothing to lose, ujar saya pada diri sendiri.
Lalu, beberapa bulan setelah pendaftaran ditutup, akhirnya hari itu pun tiba. Ponsel saya bergetar menandakan email masuk. Dari panitia UWRF 2015. Jaringan internet yang tiba-tiba lemah membuat saya kesal karena tak kunjung bisa mengakses kotak pesan. Begitu pesan itu saya baca, kembali saya harus menelan kecewa. Saya belum berjodoh dengan UWRF 2015. Ok, nothing to lose!
Setelah itu, tahun-tahun berlalu tanpa ada gairah untuk mengikuti seleksi UWRF. Dari menulis cerpen dan novel, saya mulai menulis catatan perjalanan dan belajar ngeblog. Apakah ini pelarian? Hahaha... barangkali iya. Tapi tak apa, toh meski tidak di UWRF, di Kampus Fiksi saya sudah sering bertemu dan sharing dengan penulis-penulis keren yang juga menjadi pembicara di UWRF, begitu saya menghibur diri. Apa yang mereka sampaikan boleh sama, tapi suasana, momen, dan pengalamannya pasti beda kalau kamu hadir di UWRF, sisi lain diri saya memprotes.
Kumcer para penulis UWRF 2017 |
Terhitung sejak tahun 2015, saya tidak lagi mencoba peruntungan dengan mengikuti UWRF. Seorang teman bercerita bahwa dia baru lolos seleksi UWRF setelah mengirim untuk keempat kalinya. Tetapi ceritanya tidak cukup mampu mengembalikan semangat saya untuk mendaftar. Saya lebih memilih menjadi “penonton”. Saya bersorak dan ikut gembira saat salah satu alumni Kampus Fiksi lolos UWRF 2017. Saya terharu saat dikirimi buku kumpulan cerpen dua bahasa karya penulis-penulis yang lolos UWRF. Mereka semua telah membantu saya merawat mimpi tentang menjadi bagian dari UWRF, suatu hari nanti, entah di tahun berapa.
Insya Allah, di tahun 2018!
Semesta berkonspirasi....
Ubud akhirnya memanggil, mewujudkan sebuah mimpi. Kesempatan itu datang seperti hujan di kemarau panjang. Ditungggu sekian lama, lalu datang tanpa terduga. Tanpa pertanda yang bisa saya baca.
Setelah tiga kali gagal di seleksi UWRF, akhirnya kesempatan itu datang lewat jalan lain. Bukan cerpen, melainkan blog. Tak pernah saya duga sebelumnya bahwa blog akan membuka jalan menuju UWRF. Memang, jika sudah jodoh, segalanya akan dimudahkan tanpa banyak drama yang melelahkan. Hehehe....
Saya terpilih sebagai bloger yang akan bergabung dengan tim media dari Generasi Pesona Indonesia (GenPI) untuk meliput acara UWRF 2018 mulai 24-27 Oktober 2018. Dalam tim ini, saya bertugas meliput acara UWRF 2018 dalam bentuk feature. Nantinya, feature tersebut akan saya publikasikan di blog, serta media sosial. Stay tune, ya!
Dua dari para pembicara UWRF tahun ini adalah Agustinus Wibowo dan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Ibu Susi Pudjiastuti. Ah, tak sabar saya berjumpa mereka. Ternyata, inilah di balik kegagalan-kegagalan yang saya alami di tahun-tahun sebelumnya. Meminjam kalimat Leo Tolstoy—yang juga dipakai oleh Andrea Hirata edalam novel Sang Pemimpi, “Tuhan tahu, tapi menunggu.” Tuhan tahu saya mengagumi tulisan-tulisan Agustinus Wibowo. Tuhan tahu, sosok Ibu Susi menjadi inspirasi bagi saya. Karena itu, Tuhan baru memberikan jalan tahun ini, saat kedua tokoh tersebut menjadi pembicara di UWRF 2018.
Sekian lama menanti, tentu saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Di Ubud, saya tidak ingin sekadar meliput, tetapi juga belajar, mencari pengalaman, mengamati, dan memperluas jaringan. Empat hari di Ubud pasti akan menjadi hari yang berkesan dan penuh semangat. Satu lagi, menjadi bagian dari UWRF 2018 membuat saya semakin yakin bahwa mimpi akan selalu menemukan jalannya sendiri. Duhai, Semesta, tetaplah berkonspirasi mewujudkan mimpi.
Sampai bertemu di Ubud!
Ikut bahagia sist�� Selamat��
ReplyDeleteSelamat....
ReplyDeleteselamat ya, ditunggu liputannya dan juga bagi2 ilmunya..
ReplyDeleteWaaaaa, selamat Mbak Ayun. Akhirnya bakalan ke UWRF jugaaa, ditunggu kisah-kisahnya. Duh ada Gus Weng, lama tak jumpa beliau.
ReplyDeleteMembanggakaaaaan. Selamat sekali lagi. Ikut senang.
ReplyDeleteSelamat mba...
ReplyDeleteditunggu cerita Ubudnya
Idolaku keren banget! Semoga lancar semuanya selama di Ubud yaa.
ReplyDeleteselamat yaa ayun.. keceeee akhirnya bukan jadi peserta, bisa jadi langsung dapat green card.
ReplyDelete