“Tea or cofffee?” tanya seorang staf Honeymoon Homestay saat saya menghadiri konrefensi pers London Book Fair.
“Teh, Mbak,” jawab saya, sembari tersenyum.
Seorang teman di sebelah kursi saya menimpali, “Kamu itu ditanya tea, coffee, malah jawab teh.”
Saya tergelak. “Biarin, aku memang orang Indonesia.”
“Teh, Mbak,” jawab saya, sembari tersenyum.
Seorang teman di sebelah kursi saya menimpali, “Kamu itu ditanya tea, coffee, malah jawab teh.”
Saya tergelak. “Biarin, aku memang orang Indonesia.”
Usai makan malam, beberapa staf menghampiri meja para tamu satu per satu sambil bertanya, “Are you finished?” lalu mereka membereskan piring yang selesai dipakai. Deretan kursi di samping kiri saya memang dipenuhi oleh warga negara asing. Tetapi saat bertanya kepada saya, si staf juga menggunakan bahasa Inggris. Sedangkan saya menjawabnya dengan bahasa Indonesia.
Dalam festival berskala internasional seperti Ubud Writers and Readers Festival ini, memang wajar jika bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Tapi, dalam konteks dialog saya dengan staf-staf yang menyambut dan melayani para tamu, saya pikir, saya tak perlu menggunakan bahasa Inggris. Toh kami sama-sama orang Indonesia yang tentu saja paham bahasa Indonesia. Dengan berbahasa Indonesia, saya merasa lebih menyatu dan akrab.
Hal ini seolah-olah menjadi prolog sebelum keesokan harinya saya mengikuti sesi Main Program: The Pledge yang salah satu pembicaranya paling saya tunggu, yaitu Ivan Lanin yang di Twitter akrab disapa Uda Ivan. Tiga pembicara lainnya adalah Theodora Sarah Abigail (esais, penyair muda yang lahir dan besar di Amerika), Rain Chudori (penulis, pembuat film, pendiri Comma Books, sebuah penerbit buku di bawah KPG), dan Jean Couteau (penulis buku-buku seni dan kolom tentang kebudayaan Bali, ia dikenal di Indonesia karena kolom-kolomnya yang biasa terbit secara setiap hari Minggu di Kompas.)
Sabtu pagi, 27 Oktober 2018, saya sudah duduk manis di salah satu kursi di Taman Baca bersama peserta lain yang kebanyakan warga negara asing. Mereka terlihat antusias mengikuti sesi Main Program: The Pledge yang topik utamanya tentang bahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda.
Diskusi dibuka dengan sebuah pertanyaan dari Pak Jun (I Wayan Juniarta) yang saat itu menjadi moderator, “Now I would like to ask, Ivan, 90 years later, today is bahasa Indonesia still a unifying factor for our nation?”
Dalam balutan kemeja putih berpadu celana pendek, Uda Ivan duduk di kursi paling ujung. Tangan kanannya meraih mikrofon. “Terima kasih, Pak. Ee… thank you, Sir.” Ia menyelipkan tawa, lalu menyambung kalimatnya, “Izinkan saya untuk berbicara dalam dua bahasa, hari ini, karena memang, saya selama ini selalu menganggap acara yang ada di Indonesia harus dijalankan dengan bahasa Indonesia….”
Seketika tepuk tangan audiens menyambutnya. Dari sini saja, terlihat betapa Uda Ivan sangat mencintai bahasa Indonesia. Menurutnya, sampai saat ini, 90 tahun setelah Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia masih tetap relevan digunakan sebagai bahasa pemersatu. Sebab, Indonesia sangat unik. Ada kurang lebih 740 bahasa daerah yang 50% dituturkan di Papua. Sehingga, butuh satu bahasa yang mempersatukan keragaman bahasa di Indonesia. Dan, satu bahasa tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Sumpah Pemuda, adalah bahasa Indonesia.
Akan tetapi, di zaman kiwari, generasi muda, cenderung menggunakan bahasa Inggris atau mencampurnya dengan bahasa Indonesia, terutama di media sosial. Bukan hanya menulis status atau Twit menggunakan bahasa Inggris, bahkan berdebat di kolom komentar pun mereka juga menggunakan bahasa Inggris. Lambat laun, bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa yang banyak digunakan di Indonesia.
Melihat fenomena ini, Uda Ivan menanggapi. “Itu penyebab kenapa saya rewel di internet,” ujarnya, lalu tergelak, “That’s why I am very active in the internet. Saya harus terus mengingatkan orang bahwa walaupun bahasa Inggris itu menjadi lingua franca, bahasa yang dituturkan di internasional, orang Indonesia itu harus tetap memiliki identitas. Saya pernah jalan-jalan ke Eropa, lalu saat kemudian ada di puncak gunung mana gitu ya… itu saya mendengar orang sayup-sayup ngomong bahasa Indonesia, ‘kamu kapan tiba?’ dia ngomong kayak gitu. Itu rasanya di dalam hati saya luar biasa….”
Saya pun pernah merasakan hal yang sama ketika di Jaipur, seorang pedagang suvenir menyapa dengan bahasa Indonesia. Terlepas dari maksud si pedagang itu menarik perhatian pembeli, saya merasa dikenali oleh orang asing, sebagai orang Indonesia.
Selanjutnya, pada sesi tanya jawab, seorang penanya yang juga editor curhat tentang penulis-penulis muda yang lancar berbahasa Inggris. Grammar-nya pun benar dan tepat. Tetapi ironisnya, mereka tidak bisa membedakan di sebagai kata depan dan di- sebagai imbuhan. Sebagai editor, saya merasa terwakili karena saya juga sering menemukan hal yang sama. Bahasa Inggris begitu diminati, sedangkan bahasa Indonesia seperti dipelajari ala kadarnya.
Tidak ada yang salah dengan mempelajari bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Bahasa Inggris itu penting, bahkan sangat penting. Tetapi, bahasa Indonesia tidak kalah penting. Bahasa Indonesia bukan hanya milik penulis, jurnalis, editor, bloger, penyair, sastrawan, atau profesi lain yang erat dengan literasi, tetapi milik semua warga negara Indonesia.
Dulu, ketika melihat teman-teman dari negara-negara bekas pecahan Uni Suviet, kadang saya berpikir enak sekali mereka bisa berkomunikasi dengan mudah menggunakan bahasa Rusia. Begitu juga dengan teman-teman dari negara-negara Afrika yang berbahasa Prancis atau Chile dan Venezuela yang berbahasa Spanyol. Saya pernah iri melihat mereka yang sejak kecil menggunakan bahasa yang banyak dituturkan di berbagai negara.
“I speak my own language, it is bahasa Indonesia,” jawab saya bangga ketika seorang teman dari Venezuela bertanya tentang bahasa yang digunakan di Indonesia.
Saya merasa beruntung memiliki bahasa sendiri, bukan bahasa yang “diwariskan” penjajah (meski banyak kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Belanda, bukan berarti kita berbahasa Belanda, kan?). Bahasa Indonesia bukan sekadar bahasa resmi bangsa Indonesia, lebih dari itu, bahasa Indonesia adalah identitas. Sehingga, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak merawat bahasa yang menjadi identitas kita sendiri.
Daku pakai bahasa inggris buat captio IG, huahahahaha, buat mancing likes sih
ReplyDeleteAku juga, Mbak. Gak apa-apa, sih. Malah bisa sekalian promosi ke luar negeri. Hehe...
DeleteYang ironis kalo orang2 pada fasih berbahasa Inggris, paham grammar, tapi tata bahasa Indonesia malah nggak paham.
saya tetap pakai bahasa Indonesia, kalau bahasa inggris sering juga kepada teman2 dari negara asing bahkan saya sering bilang "ayolah belajar bahasa indonesia, bahasa kami mudah dipelajari (untuk basic dengan mengabaikan imbuhan)"
ReplyDeletesebagai anak dari guru Bahasa Indonesia saya setuju banget kalau sekarang bahasa Indonesia memang mulai terdegradasi, kita sebagai anak muda harus bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai identitas kita. semoga event dan talkshow seperti ini semakin digiatkan untuk meningaktkan kecintaan anak muda terhadap budaya Indonesia
ReplyDeleteWaaaa...keren bisa hadir di acara ini...dari tahun2 kemarin saya kepo dan pengen ikutan tapi belum kesampaian mbak... moga tahun berikutnya bisa...
ReplyDeleteWah mba mantul ada diacara ini, emang iyah mba baru aja saya berbincang sama rekan kerja saya tadi, jika ia kaget di satu sekolah yg lingkungan borju mereka menggunakan bahasa Inggris buat sehari-hari mba sedih juga bahkan bahasa sunda bahasa daerah seperti dianggap kampungan :D
ReplyDeleteI loveeeee bahasa Indonesia *eh hihihi.
ReplyDeleteKalau saya sudah pasti cinta bahasa Indonesia, terutama saat ngomong, kalau tulisan mah sok kadang keinggrisan hehehe.
Soalnya kalau ngomong pakai Inggris, suka muncrat sayanya.
Dan selalu pengucapannya gak tepat. :D
Di sekolah anakku bilingual mba, tapi kalo di rumah tetap pake bahasa Indonesia ahaha. Kadang-kadang sih ngobrol pake bahasa inggris. Pokoknya 80% masih bahasa indonesia agar anak-anak pun tetap mewariskan Bahasa Indonesia ke anak cucu nya nanti
ReplyDeleteMom datang ke UWRF? Kereeen. Aku ga pernah lolos euy huhu. Maksih sharingnya, jd ada bayangan walau blm berkesempatan heh.
ReplyDeleteSetuju Mbak:)
ReplyDeleteSaya sampai sekarang kalau nulis pesan selalu pakai ejaan lengkap, enggak mau alay..Biarin pernah diledekin apa enggak capek nulis panjang begitu, disingkat saja, terlalu EYD lah..kayak orang tua, dll dsb..Tapi biar saja. Karena saya ingin terus membiasakan diri untuk menulis Bahsa Indonesia dengan baik dan benar meski masih salah di sana sini :)
Saya juga sering pake bahasa campur-campur kalo ngomong. Tergantung sama siapa ngomongnya. Tapi, kalo pas pake bahasa Indonesia ya sebisa mungkin yang benar. Meski nggak selalu dalma bentuk baku. Minimal nggak alay dan nyingkat-nyingkat kata yang bikin pusing
ReplyDeleteWah, emang dari dulu penggunaan bahasa Inggris itu terkesan sexy dan fancy mbak. Kadang aku juga melakukannya, hahaha *pengakuan dosa*. Tapi since I write my own personal blog, aku malah jadi terdorong untuk bisa menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar . Terima kasih atas sharingnya mbak, asyik eui bisa sampai ke Ubud
ReplyDeleteBahasa Inggris dan bahasa Indonesia sama-sama penting ya jadi harus mempelajari keduanya dengan benar.
ReplyDeleteSayan salah satu yang suka ngikutin kicauan Mas Ivan di Twitter. Kalau ada kata yg gak saya tau KBBI-nya saya suka searching kata itu plus nama Ivan, biasanya ketemu :D
ReplyDeleteUntung gak jawab, teh yang literally panas :D pasti anak Jaksel :p
ReplyDeleteWuahhhhh keren bangetttt. . Bangga banget bisa berbahasa Indonesia dengan yang lain
ReplyDeleteSetuju banget kalau bahasa Indonesia ini adalah bahasa identitas kita sebagai warga Indonesia ya, mba. Bangga banget gunakan bahasa Indonesia :)
ReplyDeleteaku sih bangga banget berbahasa indonesia.. sehari-hari memang berbahasa indonesia sih.. tapi bahasa ku kayaknya memang masih banyak yang harus diperbaiki deh, apabila mengacu ke KBBI sih ya..
ReplyDeleteaq jadi inget nonton film kulari ke pantai, anak2 zaman sekarang lebih banyak yang pandai dan suka berbahasa inggris di keseharian, tp hal tersebut karena keinginan orang tuanya juga..
ReplyDeletesaya adalah orang yang senang berbahasa indonesia
ReplyDeletebahkan dalam menulis statuspun saya selalu menggunakan bahasa indonesia yang baku
miris kadang lihat orang yang tidak bisa menggunakan bahasa indonesia dengan baik
bahkan menulis status pun dengan singkatan yang tidak jelas