Setelah delayed hampir 2 jam, burung besi ini akhirnya lepas landas dari Bandara KLIA2 menuju Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Perjalanan udara yang memakan waktu sekitar 2 jam cukup membuatku bosan. Tapi beruntung, aku mendapat tempat duduk di window seat sehingga bisa memandang ke luar jendela.
sayap pesawat dan langit biru (dok.pri) |
Bangunan-bangunan terlihat semakin mengecil seiring tingginya jarak pesawat dengan bumi, hingga menjadi titik, dan kemudian tak terlihat. Pemandangan berganti dengan hamparan awan. Langit terasa begitu dekat dan terlihat begitu biru.
“Hai, Langit, beberapa puluh tahun lagi, apakah kamu akan tetap sebiru ini?” batinku.
“Mungkin…,” jawab langit dalam dialog-dialog imajiner yang tercipta di benakku.
Aku menarik napas dalam. “Bagaimana jika kemungkinan terburuk yang terjadi?”
Kemungkinan pasti ada dua, baik dan buruk. Bagaimana jika langit tak lagi sebiru ini karena polusi yang tak bisa ditanggulangi? Bagaimana jika udara yang kita hirup dalam setiap tarikan napas justru menjadi pemicu penyakit yang membuat kita berhenti bernapas?
Bahkan, berdasarkan analisis dataset Earth Exchange Global Daily Downscaled Projections (NEX-GDDP) Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) memprediksi suhu harian Indonesia bisa mencapai 40°C pada tahun 2100. Bila dengan skenario emisi rendah, suhu harian di Indonesia pada tahun 2100 bakal berkisar antara 30-35 derajat celsius. Sementara, bila dengan skenario emisi tinggi, suhu Indonesia bakal berkisar antara 35-40 derajat celsius. (sains.kompas.com)
“Lalu apa yang sudah kamu lakukan untuk mengurangi polusi dan membuat aku tetap biru?” pertanyaan Langit menohokku. Jleb!
sumber: closingtheloopsd.com |
“Hmm…” Aku mengingat-ingat. “Selama ini, masih sebatas hal-hal kecil yang aku lakukan, seperti mematikan lampu atau alat elektronik jika tidak dipakai, mencabut colokan listrik, membawa tas belanja sendiri, dan hal-hal kecil lainnya yang menurutku tidak seberapa. Mau nanam pohon yang banyak tapi aku nggak punya lahan.”
“Setidaknya, melakukan hal-hal kecil itu lebih baik daripada tidak sama sekali,” jawab Langit sedikit menghiburku.
Pesawat masih terbang menembus garis batas dua negara di angkasa. Aku masih menatap ke luar jendela, berdialog dengan langit yang kini dihiasi semburat jingga. Sementara, dialog-dialog itu masih saja memenuhi benakku.
“Dengar, ya..,” Langit memulai percakapan lagi setelah aku termenung beberapa saat. “Aku menaungi kalian semua yang ada di bumi, salah satu tugasku memang itu. Aku tidak berhak melarang kalian mendirikan pabrik, menggunakan plastik, listrik, kendaraan bermotor, dan segala macam kemajuan teknologi yang memudahkan hidup kalian. Aku tidak akan meminta kalian mengganti kendaraan bermotor dengan onta, keledai, atau kuda. Hahaha…. Tapi gunakanlah bahan bakar yang ramah lingkungan jika kalian ingin melihatku tetap biru.”
Langit Biru (credit to @agunpriyatna) |
Ocehan Langit membuatku tersenyum. “Aku suka difoto dengan background langit yang sedang biru-birunya, jadi nggak perlu filter di Instagram.”
“Hahaha… tetep ya, ujung-ujungnya foto.”
“Iya, dong, aku ingin jadi bagian #GenLangitBiru yang nggak cuma eksis di dunia digital, tapi juga punya aksi nyata.”
“#GenLangitBiru, apalagi itu?”
“#GenLangitBiru adalah Generasi Langit Biru, sebutan untuk generasi millennial yang lebih mementingkan kualitas hidup untuk masa depan lebih baik. Sebutan ini dibuat oleh Pertamina yang diambil dari nama proyek Kilang Langit Biru di Cilacap.”
Mendengar penjelasanku, Langit takjub, “Wah, namanya seperti namaku. Langit Biru.”
“Kamu tahu, Langit, pohon yang ditebang selama penggarapan proyek Langit Biru didata jumlahnya untuk dilakukan penanaman kembali sesuai jumlah pohon yang ditebang. Nah, tujuan proyek Langit Biru ini untuk meningkatkan kualitas BBM dari premium (RON 88) menjadi pertamax (RON 90). Semakin baik kualitas BBM, maka semakin ramah pula bagi lingkungan. Jadi warna birumu akan tetap terjaga.”
Sumber: pertamina.com |
“Tunggu.. tunggu… RON itu apa?”
“RON atau Research Octane Number adalah angka yang menerangkan ketahanan bahan bakar terhadap kompresi di dalam mesin tanpa meledak sendiri.”
dok. pribadi |
Tak ada jawaban dari Langit. Tapi kulihat gradasi warna di kejauhan, membentuk garis di atas sayap pesawat. Langit biru berganti jingga, dan sebentar lagi gelap akan tiba. Namun kegelapan ini hanya sementara, sebab besok pagi, langit biru akan kembali menyapa.
“Mengapa kamu begitu yakin besok aku akan tetap berwarna biru?” tiba-tiba, Langit bertanya lagi, padahal kupikir dia sudah menyudahi dialog imajiner ini.
“Aku tidak sepenuhnya yakin, aku hanya mencoba optimis. Seperti yang kujelaskan tadi, kami—manusia-manusia di bumi—sedang berusaha. Aku pribadi untuk saat ini hanya bisa melakukan hal-hal kecil yang kadang juga ada lalainya, hmm... Tapi menurutku, langkah yang ditempuh Pertamina lewat proyek Langit Biru sangat layak diapresiasi.”
“Kalau Pertamina meningkatkan kualitas BBM, pasti harganya lebih mahal daripada kualitas rendah. Apa orang-orang masih mau beli?” Ada keraguan yang tersisip dalam pertanyaan Langit.
sumber: pertamina.com |
Aku berusaha meyakinkannya. “Lho, jangan salah, Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito menjelaskan penjualan gasoline berkualitas tinggi terutama jenis Pertalite (RON 90) dan Pertamax (RON 92) serta diesel jenis Dexlite dan Pertamina Dex mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Penjualan BBM berkualitas jenis Pertalite selama Januari-Juli 2017 meningkat 363,7% dibandingkan periode sama 2016. Kenaikan penjualan Pertalite ini tercatat lebih dari tiga kali lipat.” (pertamina.com)
“Baiklah, aku juga akan optimis bahwa aku akan tetap mampu menaungi kalian dengan warna biruku,” kata Langit, sesaat sebelum dia mengakhiri dialog imajiner ini. Remang sepenuhnya berubah gelap, namun bukan berarti langit biru tak bisa kulihat lagi.
Bumi memang sudah tua, polusi terjadi di mana-mana, tapi bukan berarti kita harus pasrah pada keadaan yang kita ciptakan sendiri. Langit biru, air jernih, dan udara bersih bukanlah mimpi jika kita bisa memulai hal baik, dari diri sendiri.
credit to @agunpriyatna |
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...