Umbul Sidomukti |
Semarang, kata itu pertama kali terekam di memori saat dia masih begitu bocah, tepatnya ketika datang tetangga baru yang pindah dari Semarang ke Jember. Masuk bangku sekolah, dia tahu dari pelajaran IPS bahwa Semarang adalah ibu kota provinsi Jawa Tengah. Dia sekadar tahu tanpa pernah membayangkan bahwa kelak ia akan akrab dengan kota ini.
Hampir dua dekade setelah kata Semarang itu menghuni memorinya, ada banyak alasan yang membawanya ke Semarang, mulai alasan pekerjaan, jalan-jalan, hingga volunteering. Dia pun tahu bahwa ternyata, tidak hanya ada Kota Semarang, tetapi juga Kabupaten Semarang.
Salah satu kunjungan membawanya ke Bandungan, sebuah kecamatan di lereng Gunung Ungaran yang termasuk wilayah Kabupaten Semarang. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam dari Kota Semarang, cuaca panas berganti sejuk. Deretan hutan di lereng Gunung Ungaran menyumbangkan oksigen yang menyegarkan pernapasan. Langit memang kelabu, namun pepohonan tetap menyajikan hijau yang menyejukkan mata, terlebih pekerjaannya sehari-hari membuat dia harus terus-menerus fokus menatap layar komputer. Sehingga, pemandangan seperti ini belum tentu sebulan sekali dia nikmati.
Lereng Gunung Ungaran |
Namun, ada yang berbeda dengan Bandungan. Dari sekian banyak perjalanannya ke daerah pegunungan, Bandungan termasuk yang paling mengesankan karena di sini, dia seolah menemukan kenangan masa kecilnya, merasa bernostalgia.
Bagaimana mungkin bernostalgia di tempat yang bahkan baru pertama kali dikunjungi?
Umbul Sidomukti yang menjadi primadona wisata di Bandungan cukup sepi sore itu. Dia duduk di atas batu yang tertata rapi seraya menceburkan sepasang kakinya ke dalam kolam. Sensasi sejuk merayapi hingga dasar kulit. Bening air Umbul Sidomukti tidak hanya mengalirkan kesejukan, tetapi juga mengaliri memorinya dengan kenangan masa kecil.
Merendam kaki di Umbul Sidomukti |
Dulu, saat baru pertama kali mendengar nama Semarang, saat dia masih menjadi bocah ingusan, salah satu tempat bermain favoritnya adalah umbul atau mata air yang membentuk kolam di area persawahan tak jauh dari rumahnya. Mata air yang bening itu menjadi tempat pemandian sekaligus memenuhi kebutuhan air minum dan memasak warga sekitar. Sejuk, bening, dan alami, tak kalah dengan air minum kemasan. Sayangnya, saat ini, mata air tersebut tak terawat dan tak lagi selebar dulu.
Sebuah panggilan mengembalikannya dari memori masa kecil. Dengan sepasang kaki yang masih basah dan dingin, dia naik ke teras di atas kolam. Dari sini, hijau pemandangan terhampar. Sementara, puncak gunung Ungaran tertutup awan di kejauhan.
Sebenarnya, dia masih ingin berlama-lama, bahkan menceburkan diri di kolam Umbul Sidomukti sembari bernostalgia. Atau, menantang diri dengan bermain flying fox dan meniti jembatan tali. Namun sayang, pengumuman yang diteriakkan dari pengeras suara mencegahnya. Pengunjung diminta segera keluar karena Umbul Sidomukti sudah hampir ditutup pada jam lima sore.
Mungkin lain kali, pikirnya, toh Jogja-Semarang bisa ditempuh tiga jam saja.
Sebenarnya, dia masih ingin berlama-lama, bahkan menceburkan diri di kolam Umbul Sidomukti sembari bernostalgia. Atau, menantang diri dengan bermain flying fox dan meniti jembatan tali. Namun sayang, pengumuman yang diteriakkan dari pengeras suara mencegahnya. Pengunjung diminta segera keluar karena Umbul Sidomukti sudah hampir ditutup pada jam lima sore.
Mungkin lain kali, pikirnya, toh Jogja-Semarang bisa ditempuh tiga jam saja.
***
Keesokan harinya, Bandungan memberinya sebuah pagi yang lagi-lagi membawanya pada sebuah nostalgia. Kali ini, kenangan itu datang dari sajian yang dia temukan secara tak sengaja, di Pasar Bandungan. Dia menyebut momen ini sebagai serendipity.
Warna-warni Pasar Bandungan |
Saat menyusuri pasar yang penuh dengan warna-warni barang dagangan, perhatiannya tertuju pada seorang penjual yang ramai oleh pembeli. Seorang ibu sibuk melayani orang-orang yang memesan bubur pecel samier. Berbeda dengan bubur ayam atau bubur lain yang disajikan di atas mangkuk, bubur ini dituang ke atas opak yang oleh warga lokal disebut samier. Lalu, bubur diguyur dengan sambal pecel, lengkap dengan sayur-sayuran.
Bubur pecel samier di Pasar Bandungan |
Dia pun ikut memesan sambil mengingat-ingat masa SD-nya yang akrab dengan jajanan berbahan dasar opak tersebut. Tak beda jauh dengan bubur pecel samier, saat masih berseragam merah putih dulu, opak menjadi cemilan favoritnya. Selembar opak ditumpangi karak (nasi aking) goreng, lalu disiram bumbu pecel. Penjual opak di SD-nya dulu adalah seorang wanita sepuh yang kini sudah meninggal dunia.
Entah kapan terakhir kali dia menikmati opak dengan sambal pecel, dia sudah lupa. Namun pastinya, setiap suapan bubur pecel samier pagi itu membawanya pada rasa jajanan favoritnya dulu. Meski tak sepenuhnya sama, setidaknya bubur pecel samier mampu mengobati rindu pada jajanan masa lalu yang kini sudah sulit ditemui. Gurih, pedas, lembut, dan renyahnya opak berpadu menyajikan cita rasa yang unik, enak, dan tradisional.
Banyak orang bilang bahwa hujan sering kali mengundang kenangan. Tapi, dia meyakini bahwa makanan juga mampu menghadirkan kembali kenangan-kenangan lewat cita rasa yang menyapa setiap inci indra pengecapnya.
amazing ya kenangan bisa balik lagi ketika kita makan sesuatu atau mendengar lagu kala itu
ReplyDeleteJadinya rawan terjebak nostalgia. Hehehe...
DeleteBagaimana mungkin bernostalgia dengan tempat yang baru pertama dikunjugi?
ReplyDeleteAh sukak dengan kalimat ini, mbak. Karena aku pun punya beberapa tempat yg langsung jatuh cinta. Baru kunjungan pertama namun rasanya seperti nostalgia. I know how it feels ��
Nah! Kadang pertama kali ke suatu tempat, tapi rasanya sudah "akrab".
Delete