“Selamat datang di Candi Gedong Songo,” ucapku dengan bahasa yang tidak akan mampu dipahami oleh gadis itu.
“Tungguin, dong...,” protes temannya.
“Biarin... biar dia ninggalin kita,” sahut teman lainnya setengah berteriak.
Gadis itu berujar, “Wah, gerimis, nih.”
“Tanggung, sekalian aja ke candi ketiga, nggak jauh, kok.”
Dia baru saja keluar dari mobil bersama beberapa orang ketika langit menitahku menjadi gerimis yang menyambutnya. Dia berlarian bersama teman-temannya menuju loket pembelian tiket masuk seharga 7500 rupiah. Tanpa menunggu aku pamit, mereka mulai melangkahkan kaki menuju sembilan candi yang tersebar di lereng Gunung Ungaran.
Pemandangan di Candi Gedong Songo |
Sebenarnya, wisatawan juga bisa naik kuda untuk mengeksplorasi daerah ini. Tapi mereka lebih suka bertualang dengan jalan kaki yang lebih hemat, sekaligus lebih sehat. Sepanjang perjalanan, wisatawan akan melewati deretan pohon cemara dan perkebunan sayur milik penduduk. Udaranya pasti sejuk.
Belum sampai candi pertama, salah seorang temannya sudah ngos-ngosan meminta istirahat. Sedangkan gadis itu sudah berjalan paling depan seolah tak sabar untuk menjumpai candi Gedong Songo satu per satu.
“Tungguin, dong...,” protes temannya.
“Biarin... biar dia ninggalin kita,” sahut teman lainnya setengah berteriak.
Gadis itu baru sadar bahwa dia berjarak cukup jauh dengan teman-temannya. Tanpa rasa bersalah, dia tertawa, lalu duduk di bawah pohon sambil menunggu mereka.
Sementara, aku sudah tidak lagi menjadi gerimis. Namun, langit yang gelap siap menitahku sewaktu-waktu untuk menjelma gerimis, hujan yang sedang, atau bahkan hujan lebat. Dan manusia yang sedang di perjalanan biasanya akan merutuki kehadiranku yang mereka rasa bukan di momen yang tepat. Bodo amat! Aku tak peduli dengan momen atau standar tepat dan tidak tepat menurut manusia. Aku tercipta dari air, dan akan kembali dalam wujud air.
***
Setelah beberapa saat yang dilakui dengan berjalan-berhenti-berjalan lagi-dan berhenti lagi, gadis itu dan teman-temannya tiba di candi pertama. Aku yang sudah berkali-kali membasuh candi itu sepanjang musim hujan, hafal betul dengan bentuknya yang utuh sejak dulu. Bentuknya persegi panjang dengan ketinggian sekitar 4-5 meter. Sekeliling candi dihiasi oleh relief dan pahatan berbentuk padma atau bunga teratai.
Candi Pertama di Candi Gedong Songo |
Seperti wisatawan kekinian pada umumnya, mereka berfoto dan sesekali mengamati badan candi, meski aku tak yakin mereka paham betul sejarah candi ini. Bahkan aku juga tak yakin mereka tahu siapa penemu Candi Gedong Songo.
Ratusan tahun lalu, tepatnya tahun 1740 M, Thomas Stanford Raffles menemukan 7 buah candi di lereng Gunung Ungaran. Berdasarkan jumlahnya, candi-candi itu disebut Candi Gedong Pitu. Awal tahun 1900-an, seorang arkeolog Belanda menemukan dua candi lain yang tak jauh dari kompleks Candi Gedhong Pitu. Penemuan tersebut mengubah nama kompleks candi menjadi Candi Gedong Songo.
Candi-candi di kompleks Candi Gedhong Songo diperkirakan dibangun pada abad ke-8, yakni masa pemerintahan Dinasi Sanjaya Hindu dari Kerajaan Mataram Kuno. Lokasi candi yang berada di ketinggian menunjukkan kesesuaian dengan kepercayaan Hindu pada masa itu bahwa gunung dianggap sebagai tempat tinggal para dewa, sehingga di sanalah pemujaan dilakukan.
***
Dari candi pertama, mereka menuju candi kedua yang jaraknya tidak terlalu jauh, namun menanjak. Seperti candi pertama, candi kedua ini juga berbentuk utuh dengan ceruk kecil di sisi luar candi sebagai tempat meletakkan arca. Di atas pintu masuk, terdapat hiasan wajah Kalamakara yang menyambut setiap orang yang mengunjunginya.
candi kedua |
Masih sama dengan aktivitas di candi pertama, gadis itu serta teman-temannya mendokumentasikan perjalanan mereka lewat bidikan lensa kamera. Sementara aku, perlahan-lahan kembali menjadi rintik yang menemani perjalanan mereka.
Gadis itu berujar, “Wah, gerimis, nih.”
“Tanggung, sekalian aja ke candi ketiga, nggak jauh, kok.”
Aku memang tidak langsung mengguyur mereka dengan hujan deras. Sengaja aku memberi kesempatan kepadanya untuk berjalan (sedikit) lebih jauh. Bahkan beberapa detik kemudian, aku menahan rinaiku.
Dan bersama teman-temannya, dia sampai juga ke candi ketiga yang berbeda dengan dua candi sebelumnya. Sesuai dengan urutannya, candi ketiga ini terdiri dari tiga candi yang diperkirakan sebagai satu candi utama dan dua candi perwara yang bentuk serta ukurannya sama. Sedangkan, candi utama terlihat lebih sederhana tanpa banyak ukiran seperti dua candi lainnya. Bentuknya persegi panjang dengan atap berbentuk limas.
candi ketiga |
Di candi ketiga ini, gadis itu meminta teman-temannya untuk berhenti agak lama. Selain beristirahat, dia ingin menikmati pemandangan hijau di sekeliling candi. Aku membiarkannya menghirup udara sejuk dengan aroma tanah basah sehabis hujan. Langit masih gelap dan waktu terus beranjak menuju sore.
Antara ingin menuntaskan kunjungan ke sembilan candi atau kembali karena hari akan semakin gelap, mereka berembug. Namun tak lama, waktu itu pun tiba. Waktu untuk membasahi bumi yang bahkan belum kering karena kedatanganku sebelumnya. Tak terlalu deras aku mengguyur, namun cukup membuat mereka berlarian dan tak lagi berpikir untuk melanjutkan perjalanan hingga candi kesembilan.
sesaat sebelum hujan |
Mereka terengah-engah setelah berlari-lari menghindariku. Aku pun berbaik hati menghentikan setiap tetesan agar mereka tak semakin basah dan kedinginan.
Mungkin gadis itu kecewa lantaran tak bisa mengkhatamkan perjalanan hingga candi kesembilan. Tapi lewat tetes air yang membasahinya, aku berbisik—meski dia tak mengerti—agar dia datang lain kali untuk menggenapi perjalanan di candi yang berjumlah ganjil ini.
Datanglah lain kali, akan ada senja yang mempesona di puncak bukit sana. Senja yang merah dan jingganya menambah pesona Kabupaten Semarang, yang mungkin akan membuat siapa pun menyetujui sebuah akronim bahwa Semarang adalah semakin rindu dan sayang.
Waduh, mupeng dah pengen ke Gedong Songo tapi belum kesampaian.. hehe
ReplyDeleteSemoga pada kunjungan selanjutnya cuaca cerah.. Aamiin
Amin...
DeletePengen lihat sunset di sana, tapi kayaknya kalo musim-musim sekarang agak susah.
Coba balik lagi antara Juni-September..
DeletePas kemarau itu, kemungkinan langitnya cerah..
Foto empat jejaka khilapnya mana kak😅
ReplyDeleteSebenarnya tadi malam udah aku masukin folder buat blog, tapi aku ragu mau upload, takut merusak pencitraan kalian. Hahaha....
DeleteTak upload ya.
Wah aku baru tau tentang candi ini, thank you infonya mbaak... bentuk candinya juga kecil dibandingkan dengan borobudur dan prambanan ya. Tapi kalo dilihat pemandangan disekitar candinya masih asri sekali.. semoga punya kesempatan buat berkunjung ke Candi Gedong ^^
ReplyDeleteIya, kecil banget kalo dibandingin Borobudur sama Prambanan.
DeleteAmin ya, Mbak. Suasananya asyik, sejuk karena di ketinggian.
Bagus tempatnya, sejuk, sayang pas ke sana ngga semua candi bisa kusambangi, lelahhh dan lagi hamil gede kala itu hihihi
ReplyDeleteItu semacam "kode" dari semesta agar kita ke sana lagi. Hehehe
Deletekemarin pas aku jalan ke candi, membayangkan zaman dulu itu gimana sih kehidupannya.. serba candi.. menarik pula desainnya.
ReplyDeleteKalo aku ngebayangin kehidupan zaman dulu gak jauh2 dari film2 kolosal macem Angling Dharma, Tutur Tinular, dll. Hahaha... beginilah imajinasi kids jaman old.
DeleteGedong Songo ini salah satu kompleks percandian favorit saya. Dibangun di lokasi yang sangat cantik. Saya pas piknik kesini berangkat pagi-pagi benar, bahkan loket tiket belum buka dan kabut belum naik sempurna. Keren banget view-nya.
ReplyDeleteAjakin bRe trekking ke sini, Mbak.
Delete