dok. pri |
Pada
ujian speaking bahasa Inggris, saya diminta mengambil undian untuk
menentukan topik yang harus saya bicarakan.
“What’s
the greatest achievment in your life?” tulisan itu tertera pada sepotong
kertas kecil yang baru saja saya ambil.
“So,
tell me the greatest achievment in your life. What is it?” tanya Profesor
Meera yang menguji saya.
Saya tak sempat berpikir panjang. Saat itu,
yang terlintas dalam pikiran saya bukanlah lembar-lembar sertifikat lomba yang
tersimpan rapi di dalam lemari.
“Being
more tolerant,” jawab saya sebelum bercerita sebuah fase berharga yang saya
alami di sebuah kota; Jogja.
***
Terlahir dan besar dalam keluarga serta
lingkungan mayoritas muslim, membuat saya tak memiliki satu pun kawan yang
berbeda keyakinan. Meskipun saat SD dulu ada dua guru kelas yang berbeda agama
dengan saya, namun interaksi kami sebatas guru-murid di sekolah. Selebihnya, interaksi
saya secara langsung dengan pemeluk agama lain sangat minim. Teman di sekolah
dan lingkungan sekitar rumah, semua dari keluarga muslim. Alhasil, toleransi
antarumat beragama lebih banyak saya pelajari dalam buku PPKn daripada saya
praktikkan.
Lulus dari SD, saya melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah, lalu Madrasah Aliyah di pesantren, dan perguruan tinggi
saya tempuh di sebuah Institut Agama Islam Negeri di Jember. Sejak SD hingga
perguruan tinggi, saya berteman dengan banyak orang yang berbeda karakter. Namun,
tak ada satu pun dari teman saya yang berbeda keyakinan. Semua muslim!
Hingga pada suatu hari, sebuah
panggilan kerja membawa saya yang saat itu masih fresh graduate menjadi satu dari sekian banyak perantau di Jogja. Ini menjadi awal babak baru dalam kehidupan saya. Sebagai
perantau yang tidak punya saudara di Jogja, saya pun mencari tempat kos. Atas
rekomendasi teman, saya menemukan tempat kos yang tak jauh dari kantor, dan tak
jauh pula dari jalan raya.
Sore itu, saya mengetuk pintu sebuah
rumah bercat cokelat sambil mengucap “assalamu’alaikum....” Sebelum ada
jawaban, saya buru-buru meralat begitu melihat patung Bunda Maria di atas bufet.
Pasti pemilik rumah ini seorang pemeluk Katholik, batin saya, berarti...,
saya akan tinggal satu atap dengan orang yang berbeda agama.
Saya pun mengucap “kulonuwun”.
Kemudian, seorang wanita paruh baya muncul, yang tak lain adalah pemilik kos.
Saya serta anak-anak kos lain memanggilnya Ibuk. Dan sejak hari itu hingga
sekarang, saya masih tinggal di kos Ibuk, hidup berdampingan meski berbeda
keyakinan.
Bersama Ibuk dan teman-teman kos |
Ibuk adalah seorang pemeluk Katholik
taat yang tak hanya rajin ke gereja, tetapi juga aktif dalam kelompok doa
bersama (doa rosario) yang diadakan secara bergilir dari rumah ke rumah. Saat
rumah Ibuk ditempati doa bersama, saya dan anak-anak kos lain—tanpa diminta—berusaha
untuk tidak berisik atau lalu-lalang agar tidak menganggu jalannya ibadah
mereka. Mungkin terlihat sepele, tapi itulah hal kecil yang kami lakukan sebagai
wujud toleransi.
Sebaliknya, saat tiba giliran kami
menjalankan ibadah, misalnya puasa Ramadhan, Ibuk menjadi ibu yang membangunkan
anak-anak kosnya agar tidak telat sahur. Dia sengaja bangun lebih awal dan berkeliling
mengetuk pintu-pintu kamar kos satu per satu untuk memastikan bahwa anak-anak
kosnya sudah bangun untuk makan sahur. Tak hanya itu, saat adzan Maghrib
berkumandang, tak jarang ia menyiapkan takjil; kolak pisang, bakso, es buah,
atau sekadar es teh. Bertahun-tahun melaksanakan ibadah puasa, hanya di Jogja
saya menikmati takjil yang disiapkan oleh orang yang berbeda keyakinan dengan
saya.
Bukan hanya Ibuk, teman kos di sebelah
kamar saya juga berbeda keyakinan. Desy namanya, seorang penganut Kristen
keturunan Batak-Jawa, bermarga Sibarani. Empat tahun bukanlah waktu yang
singkat bagi kami untuk bersahabat dan saling memahami. Dan, selama waktu
tersebut, tak pernah sekali pun kami berkonflik karena perbedaan keyakinan.
Alih-alih memperdebatkan perbedaan, kami justru berbagi cerita bagaimana dulu
menghafal nama-nama nabi melalui lagu. Saya di TPA (Taman Pendidikan
al-Qur’an), Desy di Sekolah Minggu.
Suatu ketika, saya menunjukkan kepada
Desy sebuah status viral di media sosial tentang seorang wanita berjilbab yang berboncengan
motor, menyeberang jalan, dan berjalan beriringan dengan seorang suster. “Kalau
kita nggak cuma jalan bareng, tapi juga makan, tidur, ngobrol, curhat, dan tinggal
bareng,” komentar Desy. Kami memang sering pergi bersama, entah sekadar makan
di luar, ke tempat wisata, atau belanja.
Dalam perjalanan-perjalanan tersebut,
diam-diam saya sering terharu saat dia menunggui saya menjalankan shalat. Bahkan,
tanpa saya minta pun, ketika masuk waktu shalat dan kami masih di perjalanan,
dia yang sering menebak, “Kamu mau shalat di masjid, kan? Ayo cari masjid dulu.” Sebaliknya,
saya pun menghargai dia dengan mengatur waktu jalan-jalan kami agar tidak
berbenturan dengan waktunya beribadah ke gereja, baik untuk mengikuti kebaktian
maupun Saat Teduh (mengupas makna ayat dalam Alkitab).
Saya yakin, banyak orang yang dekat dan
sangat akrab meskipun berbeda keyakinan. Tapi, apa yang saya alami menjadi hal
yang istimewa bagi saya, karena baru di kota inilah saya mendapat pengalaman
yang berharga tersebut. Pelajaran tentang toleransi antarumat beragama yang
dulu pertama kali saya pelajari di SD, untuk pertama kalinya saya praktikkan di
sini, dengan tinggal satu atap bersama orang yang berbeda keyakinan. Jogja
memberi saya pengalaman yang tidak saya dapatkan di kota lain. Karena
pengalaman hidup berdampingan dengan mereka, saya pun tidak kaget ketika harus
tinggal selama beberapa bulan di luar negeri dan berbaur dengan banyak orang yang
berbeda keyakinan.
Jogja yang merupakan miniatur Indonesia
telah memberi saya bekal untuk bersikap menghadapi beragam perbedaan. Bahkan,
tak bisa dipungkiri bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dirancang oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX, melibatkan gabungan prajurit lintas suku dan agama. Artinya,
sejak dahulu pun, Jogja sudah tersusun dari perbedaan-perbedaan yang
menyatukan.
dok.pri |
Jogja memang istimewa. Dari puncak
Merapi yang gagah hingga deretan pantai selatan yang indah, Jogja dihiasi beragam
perbedaan.yang tidak cukup dihitung dengan jari tangan. Semuanya berwarna-warni
seperti geplak, bermacam-macam seperti menu di angkringan. Jogja itu... negeri
serbaada.
Lantas, bagaimana menjadi Jogja?
Apakah
harus lancar berbahasa Jawa Jogja yang khas dengan akhiran “po”
dan “je”?
Atau, lihai
menari srimpi dan paham cerita pewayangan?
Atau
mungkin, harus hafal sejarah dan budaya Mataram?
Semua itu tidak cukup untuk menjadi Jogja. Jogja adalah
rumah dengan ragam perbedaan di dalamnya. Maka, menjadi Jogja haruslah menjadi
toleran, saling menghargai, menyatu dalam perbedaan, guyub dalam keakraban dan keramahan. Menjadi Jogja tidak
harus menjadi sama, karena menjadi Jogja, menjadi Indonesia.
Terima
kasih, Jogja.
Aku malah sejak kecil jarang bertema yg satu keyakinan kak. Karena tinggal di lingkungan mayoritas. Tapi fine-fine aja sih. Malah di kelas bs saling tukar pikiran. Dan begitulah menjadi Indonesia dg segala keberagamannya :)
ReplyDeleteDi kampungku sebenarnya ada keluarga nonmuslim (guru SD-ku), tapi anak-anaknya udah pada gede, jadi dulu nggak pernah main bareng, rumahnya juga agak jauh dari rumahku, beda RT.
Deletemesti merinding baca tulisan pean mbk ...
ReplyDeleteHehehe... kayak tulisan horor aja, Cind.
DeleteBagus bangeeeet. Lalu suka heran kan kalau ada kelompok tertentu yang anti banget dengan orang yang berasal dari agama lain. Rasanya mau tak benyuk-benyukin hwhwhw
ReplyDeleteomnduut.com
Benyukin terus ceburin ke Sungai Musi. Yeay.. aku sudah ngerti "benyukin". Hahaha...
DeleteKalau aku sudah terbiasa dari lingkungan rumah sekolah dan bekerja. Dan nggak pernah ada sedikitpun pancingan untuk mengusik mereka. Berdampingan sama mereka justru menyenangkan. Karena kadang aku banyak belajar hal positif lain yang diajarkan keyakinan mereka.
ReplyDeleteIya, Vind, kalo di kota masyarakatnya emang lebih beragam, jadi teman-temannya juga beragam. Seru!
Deleteselamat ya Mbaaak .... BTW, masih inget aku gakkk... kita pernag barengan pas ke MGM bareng KBJ
ReplyDeleteYa inget banget to, Mbak. Hehehe...
DeleteSetelah event itu kayaknya kita belum ketemu lagi, ya?
beluuummm....nggak pernah tergabung dalam event yg sama
DeleteTulisan yang sangat bagus dan menginspirasi..
ReplyDeleteAlhamdulillah… terima kasih. Semoga ada kebaikan yang didapat dari tulisan ini.
DeleteBerkesan banget ceritanya mba Ayun. Titip salam buat Ibuk dan mba Desy yang sudah memberi warna toleransi di perjalanan hidup mba Ayun.
ReplyDeleteIya, Cha, banyak orang yang mewarnai hidupku di kota ini. Hehee… Kapan ke Jogja lagi, Cha?
Delete