“Udaranya segar,
sangat hijau, makanannya enak dan organik,” demikian kata Senapa, sopir yang
merangkap guide dadakan, saat merekomendasikan sebuah tempat bernama
Sahakari Spices Farm yang terletak di Ponda, Goa. Saya dan empat teman lainnya
mengiyakan. Mobil pun meluncur diiringi
lagu-lagu India yang diputar oleh Senapa.
Setengah jam
kemudian, mobil berbelok ke sebuah jalan setapak memasuki sebuah area yang
penuh pepohonan, terutama pohon kelapa. Sahakari Spices Farm, demikian tulisan
yang terpajang di pintu masuk, menyambut setiap orang yang datang.
credit to tripadvisor (foto milik sendiri sebagian hilang) |
Di loket
pembelian tiket, saya agak terkejut dengan harga tiket sebesar 400 rupees atau
setara 80 ribu rupiah. Tarif untuk warga lokal pun sama. Ternyata, tarif
tersebut sudah termasuk welcome drink, snack, dan lunch.
Setelah membeli tiket, kami menyusuri jalan setapak hingga sekelompok ibu-ibu berkain sari menyambut para
pengunjung dengan kalung bunga berwarna putih dan memasang tilak di
kening kami.
Setelah
penyambutan dengan pengalungan bunga tersebut, kami diarahkan menuju ruang santai
dengan suguhan seplastik snack.
Tak lama kemudian, welcome drink berupa minuman semacam wedang
disuguhkan. Warnanya kuning agak oranye dengan aroma khas rempah-rempah dan
bahan herbal. Enak!
Begitu snack
dan welcome drink tandas, seorang guide
memandu kami menyusuri jalan setapak untuk
tur keliling kebun. Sambil berjalan, saya mengamati
sekeliling, sekiranya ada hal yang menarik dan photogenic. Nyatanya,
yang saya lihat tak beda jauh dengan halaman belakang rumah. Ya, pohon kelapa, pohon pisang, dan beberapa pohon pinang tumbuh
subur di kiri kanan jalan setapak yang kami lalui. Hmm…,
rasanya seperti pulang ke kampung halaman.
Salta dari Kazakhstan dan pengunjung lainnya |
Langkah kami
berhenti ketika guide juga berhenti.
“Ada yang tahu nama pohon ini?” tanyanya.
Saya yang
berdiri agak belakang, kemudian maju untuk memastikan pohon apa yang dia tunjuk
karena tak ada satu pun orang yang menjawab. “Pohon ini?” saya balik bertanya.
“Yes,
Madam.” Guide
itu tersenyum dan mengangguk.
“Saya tahu. Ini
pohon kopi,” jawab saya.
“Ya, benar.” Ia
tersenyum lagi, lalu mulai menjelaskan tentang kopi arabica dan robusta.
Mbak guide sedang menjelaskan tentang kopi |
Sementara,
Salta—gadis Kazakhstan yang sangat addicted terhadap kopi, langsung excited dan memastikan kepada saya,
“Ayun, benar ini kopi? Oh my God, this is
my first time to see it.”
Saya mengangguk
dan sedikit bercerita bahwa saat kecil dulu, saya menyukai wangi bunga kopi yang mekar dan sering
memanjat pohon kopi untuk memanen buahnya. Bahkan, setiap tahapan prosesnya
mulai berupa buah kopi hingga menjadi bubuk, saya tahu karena sering membantu
Emak mengolahnya, dulu saat keluarga kami masih swasembada kopi. Terang saja,
Salta yang mendaku diri sebagai pencinta kopi hitam garis keras, iri luar biasa
dan berkata ingin tinggal di Indonesia. Hahaha…
Tur keliling
kebun terus berlanjut. Kali ini kami berhenti di bawah pohon kakao. Seperti
sebelumnya, guide bertanya lebih
dulu, “Ada yang tahu pohon ini?”
“Pohon pepaya?”
Beberapa orang menebak setelah memperhatikan buahnya.
“Saya tahu. Itu pohon
kakao,” jawab saya.
Sang guide membenarkan ucapan saya, lalu
menjelaskan bahwa kakao merupakan bahan dasar pembuatan cokelat. Beberapa orang
berdecak kagum sambil memotret pohon kakao, termasuk teman-teman saya dari
Kazakhstan, Tajikistan, Sri Lanka, dan Lithuania.
Ingatan saya
kembali pada suatu masa, ketika saya blusukan ke kebun kakao di kaki Gunung
Argopuro bersama teman-teman
SMP. Kami bebas memetik buah kakao, menikmati manis kecut rasanya, namun tetap
meninggalkan bijinya di bawah pohon. Jember memang salah satu daerah penghasil
kopi dan kakao. Bahkan, Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) juga
berlokasi di Jember.
Setelah membahas
kopi dan kakao, tur berlanjut dengan mengenal rempah-rempah seperti kunyit,
jahe, merica, laos, serai, dan lain-lain yang semuanya sudah sangat akrab
dengan saya. Dan, seperti sebelumnya, guide
membenarkan jawaban saya, hehehe….
Bagaimana tidak familiar dengan rempah-rempah tersebut jika sejak kecil saya
sudah mengenalnya dari halaman belakang rumah—bukan dari buku?
Dulu, Emak
sering menyuruh saya mengambil jahe atau kunyit atau rempah lainnya langsung dari kebun. Begitulah
enaknya tinggal di desa. Di belakang kos, dulu juga ada pohon merica yang lebat
buahnya. Sayalah yang rajin memanen—atas seizin ibu kos—hingga menghaluskannya
menjadi merica bubuk.
Pengalaman
bersentuhan langsung dengan rempah-rempah tersebut membuat saya tahu tanpa
harus mencari tahu. Pengetahuan yang menurut saya “tidak penting”, tapi justru karena
pengetahuan itulah, di sini saya merasa bangga saat beberapa orang peserta tur dari
berbagai negara bertanya, “Where are you
from?”
Dengan bangga
saya sebut, “Indonesia.”
Lalu, salah
seorang dari mereka menimpali, “No wonder
that you know so well. Indonesia is rich of nature resources.”
Saya tersenyum, semakin
rindu Indonesia. Yang pasti, saya merasa beruntung terlahir dan besar di desa
yang membuat saya bisa menikmati “sekolah alam” tanpa harus membayar mahal. Di Sahakari
Spices Farm ini pula, saya kembali tersentak sadar penuh syukur menjadi bagian
dari Indonesia yang—katanya—merupakan tanah surga, ketika melihat orang-orang
yang excited berfoto dengan pohon
atau tumbuhan yang baru pertama mereka lihat di sini, apalagi mereka yang
tinggal di negeri empat musim.
Tur belum
selesai ketika tiba-tiba hujan deras mengguyur bumi. Kami berlarian menuju
gazebo untuk berteduh. Pohon jati dan sawo yang mulai berbuah tumbuh subur tak jauh
dari tempat kami berteduh.
Seseorang bertanya
kepada saya seraya menunjuk pohon jati yang menjulang tinggi, “Is there that tree in your country?”
“Of course,” jawab saya, “Furniture is made of it.”
“I really want to go to Indonesia,”
gumamnya.
“You are
welcomed to visit my my country.”
“Someday, I wish.”
Saya termenung. Perjalanan kali ini memang bukan tentang tempat indah, unik, atau photogenic, tapi... ini tentang kenangan masa kecil, kampung halaman, dan kebanggaan terhadap Indonesia yang justru saya temukan saat berada jauh dari Indonesia.
Hujan deras
masih menyisakan rinai yang beradu dengan dedaunan. Dalam diam, saya
membayangkan rinai itu sebagai sebuah lagu
yang lamat-lamat saya dengar.
Orang bilang tanah kita
tanah surga
Tongkat kayu dan batu
jadi tanaman
Ah, apa benar, tanah kita masih tanah surga? Semoga!
Wah sempet ke Goa juga ya waktu itu. Saat di Kerala, ada satu masa kita visit kebun. Si bule kagum-kagum lihat pohon nangka, kopi, pepaya. Bahkan manjat kelapa aja jadi atraksinya muahaha. Yang dari Asia (Tenggara) nyengir aja :D
ReplyDeleteIya, tapi ini trip mandiri ala backpacker. Samaa.. aku cuma nyengir lihat orang sibuk moto pohon kunyit, merica, dll. :d
DeleteSamalah kayak orang Asia Tenggara yang norak bergembira kalo lihat salju hahaha
Deleteciyee template baru.. baru tahu lama gak mampir kesini
ReplyDeleteBaru kemarin sore ganti template, Kak. Ini juga masih diotak-atik.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAh, seneng banget loh ketika orang luar mengagumi negara kita yang ditampakkan lewat pengetahuan kita untuk dibagi di luar negeri :)
ReplyDeleteWahhh ditunggui bukunya ya mba Ayun :*
ReplyDeletePadahal isinya seperti pohon-pohon di kebun biasa. Tapi di sana bisa jadi objek wisata.
ReplyDelete