Alam adalah guru, meski tak semua orang bisa atau mau berguru
padanya. Bagaimanapun, alam selalu menyisipkan “pesan” dalam setiap peristiwa,
termasuk meletusnya Gunung Merapi. Kerugian harta dan terlebih korban jiwa
memang tak bisa diingkari, tapi Merapi tetap menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat di sekitarnya, yang tak bisa hanya
disikapi dari satu sisi dan satu dimensi. Tak heran bila kemudian Merapi
disebut sang mahaguru.
Sabtu lalu, bersama para blogger
kece dari Komunitas Blogger Jogja, saya memperoleh kesempatan untuk berguru
kepada sang Mahaguru Merapi dengan mengunjungi Museum Gunung Merapi yang
berlokasi di Jl. Kaliurang Km. 22,
Banteng, Hargobinangun, Pakem, Sleman. Museum ini
diresmikan pada 1 Oktober 2009, tetapi dibuka secara resmi untuk umum sejak 1
Januari 2010.
Acara
pada pagi menjelang siang itu diawali dengan bincang-bincang santai dan
bagi-bagi door prize bersama pihak
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sleman selaku penyelenggara, dan kemudian
dilanjutkan dengan berkeliling museum. Saat itu, kami ditemani seorang
mbak-mbak guide yang ramah namun
pemalu kalau difoto. Hehehe…
Begitu
masuk museum, di lobi depan kami
disambut dengan replika Gunung Merapi lengkap dengan letak museum di sebelah
selatan. Sehingga, jika cuaca cerah, kita bisa melihat Gunung Merapi sebagai
latar dari museum ini. Selanjutnya, kami diajak
belajar tentang ilmu pengetahuan alam dari koleksi-koleksi yang dimiliki oleh
Museum Gunung Merapi, seperti gambar-gambar tentang evolusi kerak bumi,
gunung-gunung api di Indonesia, selayang pandang Gunung Merapi, hingga
dokumentasi letusan Gunung Merapi dari masa ke masa.
Naik ke lantai dua, ada teater kecil yang menayangkan film dokumenter
berjudul Mahaguru Merapi. Selama pemutaran film, penonton dilarang merekam atau
mengambil gambar. Tapi, ternyata film ini sudah diunggah ke Youtube, walaupun
hanya part1. Dari film tersebut, kita bisa mengenal sang Mahaguru Merapi secara
lebih detail, betapa Merapi bukan “sekadar” gunung yang memuntahkan lahar dan
menelan banyak korban, tetapi juga menjadi bagian dari harmoni kehidupan yang
mengajarkan banyak pelajaran.
Selesai nonton film, kami kembali ke lantai satu dan melanjutkan
melihat-lihat koleksi Museum Gunung Merapi. Kali ini kami disuguhi benda-benda
yang menjadi saksi muntahan lahar Merapi dan masih bertahan hingga kini. Ada alat-alat
dapur, motor, dan lain-lain. Saat membeli barang-barang tersebut, pasti
pemiliknya tak pernah menyangka bahwa benda-benda itu akan berakhir sebagai
koleksi museum.
Membicarakan Merapi tanpa menyinggung mitos rasanya memang kurang lengkap,
apalagi sebagian wilayah Merapi masuk ke dalam Provisinsi DIY yang otomatis
juga berhubungan dengan keraton serta mitologi Jawa. Merapi, keraton, dan
pantai selatan, ketiganya menjadi unsur yang saling berkait kelindan. Berikut saya
kutipkan keterangan yang terdapat di Museum Gunung Merapi.
“Banyak mitos yang
berkembang di masyarakat, terutama yang tinggal di sekitar lereng Merapi. Yang
paling menonjol adalah keberadaan Eyang Sapu Jagad, sosok gaib penunggu Gunung
Merapi. Berbicara Eyang Sapu Jagad tentu tidak dapat dilepaskan dari Kanjeng
Ratu Kidul, sosok gaib penunggu laut selatan. Berawal dari Sutawijaya (kemudian
bergelar Panembahan Senopati), anak dari Ki Ageng Pemanahan, bertapa di pantai
selatan. Dalam laku tapa tersebut, Sutawijaya bertemu, berkenalan, saling jatuh
cinta, dan menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sutawijaya mengutarakan niatnya
untuk membangun kerajaan baru. Singkat cerita, Kanjeng Ratu Kidul berkenan
membantu dengan sepenuh hati. Sebagai tanda kesungguhan dan cintanya, Kanjeng
Ratu Kidul menghadiahi “Ndog Jagad” yang kemudian dititipkan kepada Kyai Sapu
Jagad.” (Aloysius Heri-petani, pelukis)
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...