Suatu pagi menjelang
siang di hari Senin, saya berangkat ke kampus seperti hari-hari biasa, berjalan
menuju kelas bersama teman-teman. Namun tiba-tiba, langkah saya terhenti di
belakang seorang teman berkebangsaan Niger, saat saya lihat sebuah tag
kecil tersemat di jahitan bajunya bagian belakang. Budaya Java Design,
demikian tulisan pada tag tersebut.
“Kadidia, di mana kamu
beli baju ini?” tanya saya sembari menunjuk dress panjang yang ia
kenakan.
“Di negaraku. Niger,”
jawabnya.
“Kamu tahu nama kain
ini?”
Ia menggeleng.
“Kadidia..., yang kamu
pakai ini adalah produk dari negaraku. Namanya kain batik. Motifnya juga sangat
beragam,” saya menjelaskan dengan antusias.
“Wah, sungguh? Aku suka
sekali baju ini. Andai kita kenal sebelumnya, pasti aku nitip baju seperti ini.”
“Datanglah ke Indonesia, aku akan mengajakmu ke museum batik, belanja
batik, dan melihat para pengrajin batik. Aku tinggal di Jogja yang diakui sebagai Kota Batik Dunia.”
“Wow… aku harap suatu saat aku bisa berkunjung ke Indonesia.”
Berfoto dengan Kadidia yang sedang memakai batik warna biru |
Sebagai warga negara Indonesia
yang saat itu sedang tinggal di India dan berteman dengan banyak sekali warga
negara asing lainnya, saya merasa bangga sekaligus tersanjung ketika
melihat sendiri orang asing mengapresiasi produk Indonesia. Saya telah banyak
menjumpai orang asing yang memakai batik di Indonesia, namun rasanya sangat
berbeda ketika saya menjumpainya di luar negeri, apalagi dia membeli batik
tersebut di negaranya.
Saya semakin antusias “mewawancarai” Kadidia tentang batik Indonesia di
negaranya. Selain mengungkapkan kecintaannya terhadap batik yang ia pakai, ia
juga menjelaskan bahwa produk tersebut cukup diminati oleh penduduk Niger.
Sayangnya, ia tak tahu bahwa nama kain tersebut adalah batik. Ia baru mengerti
istilah batik setelah saya menjelaskannya.
Memang, pengalaman saya bersama Kadidia tidak cukup menggambarkan seperti
apa batik di mata dunia secara keseluruhan. Namun, hal ini merupakan sesuatu
yang menggembirakan dan membanggakan—khususnya bagi saya yang saat itu tinggal
di luar negeri. Pengalaman ini membuat saya semakin yakin bahwa batik Indonesia
layak dipersembahkan untuk dunia. Tetapi, sangat disayangkan jika batik “hanya”
digemari tanpa diketahui namanya, kecuali hanya oleh orang-orang tertentu.
Secara resmi, batik Indonesia telah diakui oleh UNESCO sebagai Budaya Tak-Benda
Warisan Manusia (Representative List of
the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang ke-4 Komite
Antar-Pemerintah (Fourth Session of the
Intergovernmental Committee) tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi.[1] Akan tetapi, pengakuan ini tidak
lantas membuat batik dikenal oleh seluruh dunia.
Oleh karena itu, menjadi tugas kita bersama selaku warga negara
Indonesia untuk mengenalkan
batik. Setiap penduduk Indonesia yang keluar negeri berarti ia menjadi “duta” bagi negeri
tercinta ini. Itulah yang saya yakini selama tiga bulan tinggal di India
dan berinteraksi dengan banyak warga negara lain. Setiap kali saya memakai
batik, terkadang mereka bertanya atau sekadar berkomentar, “Bajumu bagus.
Beli
di mana?” Dari situlah saya mulai menjelaskan bahwa baju saya dubuat dari kain
batik khas Indonesia yang sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya.
Apa yang saya lakukan
memang tidak serta-merta membuat batik lebih dikenal di lingkup internasional.
Tetapi paling tidak, inilah
langkah kecil sebagai “duta” Indonesia.
Sebab,
jika bukan kita selaku bagian dari Indonesia, siapa lagi?
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...