Akhir pekan selalu menjadi momen yang dinantikan oleh banyak orang,
termasuk saya. Selama di India, nyaris saya tak pernah melewatkan akhir pekan
hanya dengan berdiam di kamar. Biasanya saya mengunjungi tempat-tempat menarik
di Hyderabad, blusukan pasar, hunting kuliner lokal, atau keluar kota sesekali.
sumber: telanganatourism.gov.in |
Pada akhir pekan kali ini, saya dan tiga orang teman (Chamila,
Bolor, dan Omar) mengunjungi salah satu kuil di Hyderabad, yakni Birla Mandir,
sebuah kuil yang terbuat dari batu pualam putih. Letaknya yang agak tinggi
menyajikan pemandangan kota Hyderabad dan
Danau Hussain Sagar. Selain sebagai tempat ibadah umat Hindu, kuil ini
merupakan salah satu daya tarik wisata di Hyderabad. Namun, mungkin untuk
menjaga ketenangan orang yang beribadah, pengunjung tak diperbolehkan membawa
kamera sejak pintu masuk. Umumnya, kamera tak boleh dibawa masuk ke ruang utama
tempat mereka sembahyang. Tetapi di Birla Mandir, sejak awal kamera memang
tidak diperbolehkan.
Menjelang petang, lampu-lampu mulai dinyalakan. Matahari perlahan
mulai turun, ditandai dengan semburat jingga di ufuk barat. Semakin banyak umat
Hindu yang datang untuk bersembahyang. Mereka membawa sesaji; bunga atau
kelapa. Satu per satu patung para dewa mereka datangi, memuja, lalu menempelkan
serbuk (saya lupa namanya) di kening mereka. Usai sembahyang, mereka duduk di
lantai luar sambil ngobrol dan menikmati senja. Sayangnya, kami tak bisa membingkai
keindahan senja hari ini dalam lensa kamera. Ya, terkadang kita cukup merekam
momen indah dengan lensa yang pemberian Tuhan.
“Sekarang waktumu untuk sembahyang, kan?” Omar mengingatkan. “Ayo cari
tempat dulu.” “Bukan sekarang, sebentar lagi, sekitar jam 7,” saya menjelaskan.
Saat hari beranjak petang dan kumandang adzan terdengar di seantero
Hyderabad, kami keluar dari kuil. Saya segera mencari toilet untuk berwudhu,
kemudian shalat. Usai wudhu, ternyata teman-teman saya sedang memilih aksesoris
di sebuah toko.
Saya pun pamit, “Kalian tunggu di sini, saya mau shalat.”
“Kamu butuh tempat untuk shalat, kan? Biar kutemani cari tempat,”
ujar Omar.
Kami berjalan sambil melihat sekeliling, sekiranya ada tempat yang
layak untuk shalat—yang pasti bukan masjid. “Sepertinya di situ bisa.” Saya menunjuk
halaman ber-paving yang cukup bersih.
Kami melihat ke dalam ruang tamu yang pintunya terbuka, tiga orang
pria sedang berbincang sambil menonton TV. Ternyata, bangunan ini adalah
sekretariat asosiasi para insinyur.
“Biar kumintakan izin kepada mereka,” kata Omar seraya mengetuk
pintu.
Ketiga pria itu keluar dan mengizinkan saya shalat di sana. Baru saja
saya hendak menggelar pasmina sebagai alas shalat, salah seorang dari mereka
berkata, “Come, Madam. Inside. You can pray here.”
Mereka mempersilakan saya masuk dan shalat di sana. Sedangkan
mereka berbincang-bincang di luar. Omar duduk di kursi yang berjarak sekitar 3
meter di samping kiri, menunggui saya shalat. Untung kali ini dia tidak merekam
saya, seperti seminggu lalu—untuk pertama kalinya—saya melihat rekaman diri
saya sendiri sedang shalat di atas rumput, diunggah di Instagram. Hahaha....
Dalam doa saya usai shalat kali ini, saya memohon agar Allah Swt. melimpahkan
kebaikan kepada mereka; orang-orang nonmuslim yang membantu saya melaksanakan
kewajiban kepada-Nya. Ternyata, pelarangan terhadap wanita untuk pergi ke
masjid justru menjadi ladang kebaikan bagi orang yang mau menyediakan tempat
shalat baginya.
Hyderabad, 20 Agustus 2016
Aku terharu.... :')
ReplyDeleteApalagi aku.☺
DeleteSemoga Allah melimpahkan kebaikan kepada mereka. Amin.
Amiin :')
ReplyDeleteTuhan akan selalu mengutus orang baik untuk menolong orang baik :)
ReplyDeletemasyallah. inspiratif. keren!
ReplyDeletetop!
ReplyDeletePengalaman yang menarik banget mba Ayun. :)
ReplyDelete