Turun dari kereta api
Sri Tanjung, cuaca panas kota Surabaya langsung menyambut saya. Selain terkenal
dengan ragam kulinernya, kota pahlawan ini memang terkenal dengan cuacanya yang
cenderung lebih panas daripada kota lain di Jawa Timur. Tapi, alih-alih membeli
es krim atau es teh atau es-es lainnya, pilihan saya siang itu jatuh pada
lontong balap Pak Gendut, salah satu kuliner legendaris di Surabaya.
Sehari sebelumnya saya sudah
janjian dengan teman-teman yang tinggal di Surabaya untuk bersama-sama makan
siang di warung lontong balap Pak Gendut. Maka siang itu, mereka menjemput saya
di Stasiun Gubeng. Dari Stasiun Gubeng ke warung lontong balap Pak Gendut yang
terletak di Jalan Kranggan, ditempuh sekitar sepuluh menit dengan motor.
Kami berhenti di sebuah
warung yang di depannya terpampang banner bertuliskan “Sedia Lontong
Balap Pak Gendut Asli”, lengkap dengan foto Pak Gendut yang sebenarnya tidak
terlalu gendut di foto tersebut. Sebenarnya, penyertaan kata asli pada banner
tersebut membuat saya bertanya-tanya; jangan-jangan, ada lontong balap Pak
Gendut KW? Tapi pertanyaan itu sebatas pertanyaan tanpa jawaban.
Di depan warung lontong
balap Pak Gendut juga terdapat banyak warung lain yang menjual makanan yang
sama; lontong balap. Namun, memang lontong balap Pak Gendut yang terlihat
paling ramai, bahkan saya sempat kebingungan mencari tempat duduk karena hampir
semua meja sudah penuh.
Seorang pria begitu
cekatan meracik lontong balap untuk para pembeli. Tahu, lontong, dan lentho
yang telah dipotong-potong tersaji di atas piring. Seorang wanita membantunya
dengan menaruh tauge rebus di atas potongan tahu, lontong, dan lentho
tersebut, lalu menyiramnya dengan kuah dan sedikit kecap. Terakhir, ia
menaburkan bawang goreng sebelum membawa pesanan ke meja para pembeli.
Ternyata, meski warung
ini sangat ramai, saya tak perlu menunggu lama seperti nunggu jodoh
untuk dapat menikmati seporsi lontong balap. Saya seruput kuahnya yang sedikit
kecokelatan karena bercampur kecap dan bumbu petis yang menjadi ciri khas
kuliner Surabaya. Tak lupa saya tambahkan sambal. Rasa asin, pedas, dan gurih
begitu dominan, sangat cocok dengan lidah Jawa Timur saya. Meski sudah beberapa
tahun tinggal di Jogja, tetapi selera saya tak berubah; tetap selera Jawa Timur
yang khas dengan rasa asin dan pedas. Lontong balap ini semakin lengkap jika
dinikmati dengan sate kerang dan ditutup dengan es kelapa muda.
Lontong balak Pak
Gendut berdiri sejak tahun 1956 dan sekarang dikelola oleh anak Pak Gendut.
Sedangkan, asal-usul lontong balap itu sendiri konon bermula dari para penjual
lontong keliling yang memikul dua gentong di kanan kirinya. Satu gentong berisi
bahan dagangan, satu lagi berisi peralatan. Para penjual lontong tersebut
berjalan dengan cepat seolah sedang balapan. Dari situlah penamaan lontong
balap berasal sebelum berkembang menjadi kuliner khas Surabaya dan dijual di
warung-warung, yang salah satunya adalah lontong balap Pak Gendut.
Cukup dengan sepuluh
ribu rupiah kita sudah bisa menikmati seporsi lontong balap Pak Gendut yang
legendaris di Surabaya. Jika ingin mencicipi lontong balap Pak Gendut,
datanglah antara jam 07.00–22.00.
Selamat berwisata rasa!
Bantu share, ya. :)
Post a Comment
Post a Comment
meninggalkan komentar lebih baik daripada meninggalkan pacar. hehehe...