Gerimis di pagi buta
menemani perjalanan saya membelah lengangnya jalanan Jogja karena masih jam
lima pagi. Beruntung, gerimis pagi itu tak berlanjut menjadi hujan deras.
Tujuan saya adalah Jl. Mangkubumi, tepatnya halaman kantor Kedaulatan Rakyat
yang menjadi meeting point dengan teman-teman relawan Kelas Inspirasi.
Setelah berbagai
persiapan yang diwarnai sedikit drama, ditambah beberapa relawan yang mengundurkan
diri karena satu dan lain hal—bahkan kami nyaris tidak dapat fotografer saat
sudah last minute, akhirnya kami siap berbagi pada Hari Inspirasi, 6
Februari 2016, di SDN Malangan, Moyudan, Sleman. Sepuluh relawan yang terdiri
dari tujuh pengajar (Sendy/Brimob, Nanik/Penyelaras bahasa, Lisda/Auditor,
Rona/Sistem analis, Rico/Radiografer, Vera/Psikolog, dan Ayun/Penulis, editor),
satu fotografer (Fauzy), satu videografer (Candra), dan dua fasilitator (Bu Ida
dan Izzat) telah berkumpul. Kami siap berbagi inspirasi di negeri serbaada,
sesuai tema Kelas Inpirasi tahun ini.
Hari Inspirasi diawali
dengan sambutan dari pihak sekolah, lalu perkenalan yang dipimpin oleh
koordinator sekaligus satu-satunya pengajar laki-laki dan termuda di antara
pengajar lainnya, yaitu Sendy. Suaranya yang lantang dan kencang meski tanpa
pengeras suara mampu menarik perhatian para murid. Setelah perkenalan singkat
tanpa menyebut profesi, kami mulai mengambil posisi untuk melakukan flashmob
dengan iringan lagu “Kembali ke Sekolah” yang dinyanyikan oleh Sherina.
Senang... riang...,
hari yang kunantikan
Kusambut, hai pagi yang
cerah
Matahari pun bersinar
terang
Menemaniku pergi
sekolah
Tangan diangkat, tepuk
tangan, angkat lagi, tepuk lagi, putar kiri, putar kanan, kaki kanan ke depan,
ganti kaki kiri, putar lagi, dan... tiba-tiba soundsystem mati saat kami
asyik ber-flashmob ria. Suara Sherina yang begitu riang seketika tak
terdengar. Kami pun mengakhiri flashmob yang tak selesai ini, kemudian
masuk kelas sesuai jadwal masing-masing.
Di jam pertama, saya
kebagian mengajar kelas 1. Kelas paling dasar ini selalu membutuhkan usaha serta
kesabaran ekstra untuk menarik perhatian mereka. Saya masih menggunakan teknik
yang sama dengan Kelas Inspirasi yang saya ikuti sebelumnya, yakni KI Semarang
dan KI Jember. Awalnya, saya bertanya siapakah di antara mereka yang suka
membaca buku. Lalu, saya membacakan fabel dengan seekspresif mungkin, tidak
datar. Baru saya ceritakan peran penulis dalam dunia perbukuan. Yang mereka
tahu selama ini adalah buku-buku yang berjajar rapi di toko buku atau
perpustakaan. Dan, betapa antusiasnya mereka saat saya bercerita sambil
memperlihatkan foto-foto proses pembuatan buku hingga buku siap dipasarkan.
Tentu saja semua itu saya sampaikan dengan selingan lagu, tepuk tangan, dan
jenis permainan lainnya. Hingga tak terasa, 30 menit telah berlalu dan saatnya
pindah kelas.
Di jam kedua, saya
mengajar kelas satu. Berbeda dengan kelas satu yang muridnya lebih dari dua
puluh, murid kelas tiga hanya belasan anak. Di kelas ini, selain membaca,
bernyanyi, bermain, dan bercerita, saya juga mengajak mereka praktik menulis
atau mengarang satu paragraf. Saya minta mereka bercerita tentang makanan
favorit, hingga muncullah ayam goreng Pak Supri, bakso Pak Joni, pecel lele Bu
Tijah, dan lain-lain sesuai imajinasi mereka.
Kelas selanjutnya yang
saya ajar adalah kelas lima. Murid-murid di kelas ini sudah bisa diajak
berdiskusi, sehingga saya tidak lagi membacakan cerita untuk mereka. Justru
mereka yang aktif bertanya setelah saya menunjukkan buku yang pada sampulnya
tertulis nama saya. Sayangnya, saat saya bertanya siapa yang bercita-cita
menjadi penulis, tak satu pun yang tunjuk tangan. Hahaha....
Terakhir, saya mengajar
kelas empat. Di kelas ini saya begitu terkesan pada murid-murid yang
menunjukkan antusiasme lebih daripada kelas lain, berbanding lurus dengan
tingkah polah mereka yang juga melebihi kelas lain yang sebelumnya saya ajar. Mereka
sangat penasaran dengan novel yang saya tulis.
Bahkan, salah satu dari mereka
bertanya dengan lugunya sembari mengorek sampul buku saya, “Mbak, ini beneran,
bukan tempelan?” Ia seolah tak percaya bahwa nama yang tertulis di sampul buku
itu benar-benar nama saya. Lalu, pertanyaan pun berlanjut dan semakin beragam.
“Mbak, ceritanya
tentang apa?”
“Mbak, kok bisa buat
buku seperti itu?”
“.......”
Dan, di antara pertanyaan-pertanyaan
itu, ada satu pertanyaan yang membuat saya sangat terkesan. Seorang gadis kecil bertanya, “Mbak, gimana caranya jadi penulis?”
Isa yang hobi membaca |
Gadis hitam manis itu bernama Isa. Cita-citanya
menjadi dokter, tepatnya dokter yang bisa menulis buku. Hobinya membaca, terutama
serial Kecil-Kecil Punya Karya. Di antara cita-cita yang sudah umum di kalangan
anak-anak, akhirnya saya temukan juga seorang anak yang ingin menjadi penulis
seperti saya. Hehehe....
Kegiatan berlanjut
dengan menulis cita-cita dan menempelkannya di pohon cita-cita. Jika Isa ingin
menjadi dokter sekaligus penulis, Ricki yang hobi baca komik—bahkan komik One
Peace juga sudah ia baca :( —bercita-cita menjadi komikus. Demikian
ia menuliskan cita-citanya. Melihat anak-anak menulis dan menempelkan
cita-citanya, saya turut mendoakan agar cita-cita itu tak hanya tertulis di
atas kertas, tapi juga ditulis oleh Tuhan di atas buku kehidupan mereka.
Seiring langkah-langkah
kecil mereka menuju gerbang sekolah, saya membatin. Suatu saat, mereka boleh lupa
siapa saya. Tapi saya harap, mereka tidak lupa bahwa di balik lembar-lembar
buku yang mereka baca, ada buah pikiran penulis yang begadang menyelesaikan
naskahnya.
Aamiin.
ReplyDeleteUntuk doa mba Ayun di paragraf yang terakhir. 😊