Bulan Desember memang
memasuki musim hujan, tapi hujan tidak menghalangi kami untuk camping di
pantai. Saat berangkat dari Jogja jam dua siang, gerimis mulai turun. Namun ternyata
hanya gerimis yang tak berlanjut menjadi hujan deras. Sepanjang perjalanan
hingga Semanu, beberapa kali kami diguyur hujan, namun tak begitu deras. Sementara,
teman-teman dari Boyolali dan Solo tertahan di Klaten karena hujan deras.
Baru sekitar jam 16.00,
kami bertemu di perempatan Semanu untuk melanjutkan perjalanan menuju Pantai
Greweng yang masih sekitar satu jam. Dari perempatan Semanu, kami ambil arah
kanan, yaitu arah pantai. Ikuti petujuk menuju Pantai Wediombo. Sebelum Pantai
Wedi Ombo, kami belok kiri ke arah Pantai Jungwok. Jalan di sini belum diaspal,
sehingga becek bila musim hujan. Ikuti terus jalan tersebut hingga bertemu
petunjuk berupa papan kecil bertuliskan Pantai Greweng dan Pantai Sedahan.
Hari sudah agak petang
ketika kami tiba di pondok milik petani tempat kami menitipkan motor. Perjalanan
selanjutnya ditempuh dengan tracking selama kurang lebih 40 menit. Mendaki
bukit, lewati sawah, jalan berbatu, agak licin, dan becek, begitulah kira-kira
gambaran medan tracking menuju pantai.
Namun, semua itu
terbayar kala kami sampai di Pantai Greweng. Hamparan pasir putih, ombak yang
ganas, dan buah bukit yang mengapitnya membuat pantai ini telihat unik. Ada pula
sumber air yang membentuk genangan menyerupai sungai yang airnya kerap menyatu
dengan air laut saat ombak pasang. Pantai ini pun sepi, serasa pantai milik
pribadi.
Jomblo di tepi sungai, eh ditingal rabi, pemilik blog lagilibur.com |
Kedatangan kami petang
itu disambut oleh seekor anjing bernama Moldi. Entah siapa pemilik anjing
tersebut, namun ia sangat “agresif” ketika melihat orang membawa kresek berisi
makanan. Sepertinya ia sangat kelaparan. Saya yang tak terbiasa berinteriksi
dengan anjing tentu saja ketakutan.
Kami segera mendirikan
tenda di bawah pohon pandan dan melaksanakan shalat Maghrib, sementara Moldi
duduk tak jauh dari kami. Tenda belum sepenuhnya terpasang saat hujan deras
turun tiba-tiba. Kami berlarian menuju warung yang telah tutup untuk berteduh. Begitu
juga Moldi. Ia ikut berteduh bersama kami. Namun, tiba-tiba Moldi menyalak
berulang-ulang, seolah melihat “sesuatu”. Padahal, tak ada orang lain yang
datang ke pantai. Hanya gemuruh hujan yang terdengar ditingkahi debur ombak
pantai selatan serta percakapan-percakapan kami. Moldi masih terus menyalak
seraya menatap bukit dari celah-celah daun pandan, membuat saya merinding. Mungkin
Moldi melihat “sesuatu” yang tak terlihat oleh mata kami.
Hujan telah reda, kami pun
menyelesaikan pemasangan tenda, lalu memasak sambil—tentu saja—diselingi curhat
dan obrolan ngalor-ngidul. Menu makan malam kali ini adalah sup sayur. Entah
sejak kapan, sepertinya menu ini sudah jadi “menu wajib” setiap camping.
Moldi yang sejak tadi duduk tak jauh dari kami juga ikut menikmati makanan,
tapi bukan sup sayur buatan Chef Ika, melainkan keripik singkong yang dengan
lahapnya ia kunyah. Setelah keripik habis, ia kembali duduk sambil mendengarkan
obrolan kami hingga tertidur. Melihat wajah Moldi saat tidur, saya tak tahan
untuk tidak mengelus kepalanya. Untuk pertama kali dalam hidup, saya
mengelus-elus seekor anjing.
Malam semakin larut dan
kami memilih masuk tenda. Debur ombak Pantai Greweng menjadi lagu pengantar
tidur kami malam itu. Dan, entah jam berapa, saya terjaga. Bukan hanya debur ombak
yang saya dengar, tetapi juga hujan deras. Saya memutuskan tidur lagi. Namun,
belum juga sosok Keenan Pearce menyapa saya dalam mimpi, Ika membangunkan saya,
memberi tahu bahwa tenda kami bocor di bagian samping. Sebisa mungkin kami
menghindari bocor dengan berdesakan dan semakin merapat, meski mata masih
ngantuk.
Keesokan harinya, langit
masih mendung namun tidak hujan. Saat membuka tenda, Moldi sudah duduk manis di
bawah pohon pandan. Saya melemparkan sebiji stroberi ke arah Moldi. Ia pun
mengunyahnya. Setelah habis, ia kembali menatap saya, mendekat, lalu hendak
mengendus sekotak stroberi yang saya bawa. Saya buru-buru memberinya stroberi
lagi. Begitu seterusnya hingga ia menghabiskan separuh stroberi yang saya bawa.
Saya pun pindah ke tepi pantai untuk menghabiskan buah-buahan yang saya bawa
tanpa diganggu Moldi. Hehehe... Si Moldi justru sibuk “pdkt” kepada Mas Aris,
hingga jaketnya robek oleh gigitan manja dari Moldi. “Anjing itu tahu kepada
siapa ia harus memberi gigitan manja,” kata Alan sewaktu saya cerita kejadian
ini.
Sisi lain Pantai Greweng |
Agak siang, kami
memasak nasi dan ca kangkung jamur, lalu makan bersama di tepi pantai. Meski menu
kami sangat sederhana, tapi inilah kemewahan yang tak bisa didapatkan meski di
restoran mahal. Pasir putih, ombak, pantai yang sepi, nasi dan sayur yang
hangat, hmm... suatu saat saya pasti merindukan momen ini.
Hari semakin siang, dan
kami pun berkemas, meninggalkan Pantai Greweng, dan juga Moldi. Perjalanan pulang
terasa lebih melelahkan karena sandal outdoor kami mendadak jadi wedges
supertebal karena tanah yang becek usai hujan semalam. Namun, cerita dramatis
lainnya sedang menunggu kami. Mau tidak mau, motor melewati jalan setapak yang
becek dan licin.
Awalnya semua motor
bisa melewatinya dengan penuh perjuangan ala pembalap off road, namun
motor cowok milik salah seorang teman kami, Mas Karyz, tak bisa jalan karena
ban depannya penuh tanah. Ban tak bisa berputar sama sekali. Bahkan didorong
bersama-sama pun tetap tidak bisa.
Alhasil, kami membersihkan tanah secara
manual menggunakan kayu dan sesekali kami siram dengan air. Tanah mulai
berkurang dan ban depan kembali bisa berputar. Sayangnya itu tak lama. Tak sampai
dua meter motor itu dituntun, ia “ngambek” lagi karena ban depan kembali
tebal penuh tanah. Lagi-lagi, secara manual kami membersihkan tanah tesebut,
menyiramnya hingga sedikit bersih. Nyaris satu jam kami berkutat dengan motor penuh
lumpur dan wajah penuh keringat, hingga akhirnya motor sampai di atas.
Perjalanan pun
berlanjut. Namun, saat kami sampai di pertigaan tempat parkir di atas Pantai
Wedi Ombo, ternyata Mas Karyz masih tertinggal di belakang. Dua orang dari kami,
yaitu Mas Aris dan Mas Ade, menyusulnya. Ternyata kejadian yang sama terulang
kembali. Saat musim hujan, memang sebaiknya kendaraan diparkir agak jauh dari
pantai, karena jalan menuju pantai di daerah ini (termasuk Pantai Jungwok) akan
sangat becek dan berlumpur. Memang berjalan kaki itu capek tapi lebih capek
mendorong motor di jalan berlumpur dengan sandal yang juga tebal karena lumpur.
Pada akhirnya, setiap
perjalanan selalu punya cerita. Bahkan, satu perjalanan bisa punya banyak
cerita, seperti perjalanan camping ini misalnya.
Selamat bertualang,
para pejalan!
Yogyakarta,
Desember 2015-Januari 2016
Itu harus ya ada caption itu di foto? harus???? eerrrrrr -_-
ReplyDelete
ReplyDeleteNow I am going away to do my breakfast, later than having my breakfast coming again to read further news. all of craigslist
Great blog I enjoyed rreading
ReplyDelete