"... Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover."
Mark Twain
“Mengapa kamu suka traveling?”
Saya begitu sering disodori pertanyaan tersebut. Sebuah pertanyaan yang membuat
saya tak habis pikir. Bagi saya, traveling adalah kebutuhan, sebagaimana bekerja.
Lebih dari itu, traveling adalah investasi. Cerita dan pengalaman saat
traveling adalah hal yang tak bisa kita dapatkan hanya dengan duduk manis di
balik meja kerja dengan setumpuk pekerjaan.
Karena itulah,
pertengahan Maret lalu saya putuskan berangkat ke Pulau Pari bersama
teman-teman Komunitas Backpacker Joglosemar (Jogja-Solo-Semarang). Setelah
berkumpul sembilan orang di meeting point yang kami sepakati, yaitu kost
salah satu teman di daerah Sentiong, kami menembus pagi di ibu kota yang masih
cukup gelap. Dengan bergonta-ganti kendaraan, naik angkot, Kopami, naik angkot
lagi, kami berusaha mengejar waktu agar tak ketinggalan kapal yang di Pelabuhan
Muara Angke. Dari sinilah kami akan bertolak ke Pulau Pari.
Suasana khas pelabuhan tersaji
di depan mata, mulai hiruk-pikuk para penumpang, awak kapal, hingga penjual
makanan. Ditambah bau amis yang sesekali menyapa penciuman, lengkap sudah
nuansa pagi di Pelabuhan Muara Angke. Sementara, kami sudah duduk selonjoran di
atas dek kapal sembari bercanda dan menikmati nasi bungkus untuk sarapan.
Sekitar satu jam kami menunggu kapal bertolak dari pelabuhan, hingga
pelan-pelan, kapal kayu bernama Pesona Alam ini mulai melepas jangkar tepat jam
delapan dan membawa kami menuju Pulau Pari.
Kapal-kapal di Pelabuhan Muara Angke |
Di tengah ombak yang tenang,
di atas air laut yang kelabu di musim hujan, kapal terus berlayar menuju Pulau
Pari. Sekitar dua jam perjalanan dari Pelabuhan Muara Angke, hingga tampak
garis pantai di Pulau Pari. Hatiku terlonjak gembira seiring kapal yang terus
mendekat hingga merapat ke tepian. And finally, welcome to Pari Island.
Seorang guide
menyambut kami dengan ramah. Ia memperkenalkan diri dengan mana Pa’i, penduduk
asli Pulau Pari. Kami pun mengekor di belakang Mas Pa’i yang berjalan menuju home
stay yang akan tempati selama dua hari di Pulau Pari. Seusai menaruh barang
di penginapan dan istirahat sejenak sambil menikmati welcome drink, Mas
Pa’i langsung mengajak kami eksplor Pantai Bintang. Yang lebih menarik,
perjalanan ke Pantai Bintang kami tempuh dengan bersepeda. Dan, selama di Pulau
Pari, kami menggunakan sepeda sebagai alat transportasi.
Sepeda mini
berwarna-warni telah siap di depan home stay. Kami pun mengayuhnya
dengan riang, seperti saat berangkat sekolah bersama teman-teman di masa kecil
dulu. Tak lebih dari sepuluh menit kami menyusuri jalan setapak yang sedikit
becek usai hujan. Lalu, sampailah kami di Pantai Bintang yang merupakan habitat
bintang laut. Pantai Bintang sedang surut siang itu, sehingga dengan mudah kami
bisa melihat dan memegang bintang laut karena airnya begitu bening. Meski
langit kala itu pucat kelabu, namun hijaunya hutan mangrove mampu menyegarkan
mata. Sementara, di tepi pantainya, pasir putih terhampar sebagai permadani
bagi setiap kaki yang menjejak di atasnya.
Pantai Bintang, salah satu pantai di Pulau Pari |
Bintang Laut |
Setelah puas
mengeksplor pantai dan berfoto, kami kembali ke penginapan untuk istirahat dan
makan siang. Di meja makan, sudah tersedia nasi, sayur asam, ikan, tempe,
lengkap dengan kerupuk dan sambal. Hmm..., so yummy. Kami pun makan
bersama, bahagia meski dengan lauk sederhana.
Agenda selanjutnya
adalah snorkling. Inilah yang paling ditunggu-tunggu! Kami akan melihat
“dunia” bawah laut. Kapal kayu mengantar kami dari dermaga menuju lokasi
snorkling. Tanpa menunggu lama, kami segera mengenakan pelampung dan
perlengkapan snorkling lainnya. Satu per satu, kami melompat dari kapal. Air
yang berombak tenang menciptakan kecipak yang memainkan tubuh kami. Sambil
bercanda penuh keakraban, kami berenang ke sana-kemari, mengintip kehidupan
bawah laut.
Air yang cukup jernih
membuat kami begitu asyik menikmati aktivitas snorkling ini. Ikan-ikan
berwarna-warni berenang di antara terumbu karang. Begitu kami memberi makan,
mereka mendekat dan bergerombol. Saya tidak tahu pasti ikan jenis apa, tapi
keindahan mereka sungguh memanjakan mata. Sebuah keindahan yang tak akan saya
dapatkan jika hanya menghabiskan akhir pekan dengan jalan-jalan di mall.
Cakep, ya (ikannya) |
Tanpa terasa, hari
telah sore. Badan kami menggigil terendam air laut. Saatnya kembali ke
penginapan dan beristihat. Namun, dasar tukang jalan memang, tak lama setelah
mandi dan istirahat, kami segera mengayuh sepeda menuju sebuah spot untuk
menikmati senja. Sebuah gundukan pasir menyerupai bukit kecil menjadi tempat
istimewa untuk mengabadikan senja. Siluet kami terekam lensa kamera.
Menciptakan momen tepat untuk mengabadikan kenangan berlatar senja yang
kekuningan.
Maka, senja kala itu
menjadi senja yang penuh warna bersama tawa dan canda teman-teman. Saat petang
mulai datang, kami kembali mengayuh sepeda untuk kembali ke penginapan. Inilah
momen yang mengingatkan saya pada masa kecil dulu, saat pulang les bersama
teman-teman sekolah.
Senja bersama teman-teman |
Malam harinya, kami
melewati malam Minggu dengan bebakaran ikan di Pantai Pasir Perawan alias
Virgin Beach. Karena gelap, maka kami tak bisa menikmati pemandangan di
sepanjang pantai. Hanya desir angin pantai yang turut meniupkan aroma laut,
menemani kami yang asyik berbagi cerita sambil menikmati ikan bakar dicocol
sambal kecap. Saking asyiknya ngobrol dan kami kasihan kepada Mas Pa'i yang menunggu lama, kami pun meminta dia pulang lebih dulu. Kami baru kembali ke penginapan tepat jam sebelas malam. Dan berhubung agak lupa jalan pulang, kami mendapat bonus malam itu, yaitu bonus nyasa. Hehehe.... Seharusnya belok kiri kami malah lurus.
Barbeque Party di Pantai Pasir Perawan |
Keesokan harinya, kami
menjadi rombongan paling awal yang bergegas ke pantai untuk menunggu matahari
terbit. Sayang kan kalau sudah jauh-jauh ke pulau seberang tapi hanya
melewatkan pagi di penginapan? Maka berangkatkal kami menuju pantai. Sayang, cuaca
pagi itu tak terlalu cerah. Matahari baru muncul saat sudah hampir sepenggalah.
Namun, tentu saja senyum kami tetap cerah dengan candaan-candaan dan banyolan
yang mewarnai di sepanjang perjalanan.
Matahari yang malu-malu |
Ketika hari beranjak
siang, Mas Pa’i mengajak kami kembali ke Pantai Pasir Perawan. Ini agenda
terakhir sebelum kami kembali ke Jakarta nanti siang. Di pantai inilah, kami
menikmati suasan pantai dengan naik perahu dan keliling hutan mangrove. Air di
sekitar hutan mangrove tampak bening kehijauan. Cahaya matahari memantul di
atas air. Mencipta pemandangan yang memanjakan mata. Cukup menyegarkan bagi
mata yang tiap hari berhadapan dengan layar komputer. Pemandangan di sepanjang
pantai dan hutan mangrove seolah mengajak siapa saja untuk lebih dekat dengan
alam, dan tentu saja dengan Pencipta Alam.
Naik perahu keliling hutan mangrove |
Setiap perjalanan pasti
menorehkan cerita, tentang alam, orang-orang, dan tentang perjalanan itu
sendiri. Sayangnya, banyak orang yang beranggapan bahwa traveling adalah
“barang mewah”, sehingga butuh banyak uang. Padahal, ada banyak cara untuk melihat
dunia, terlebih melihat alam dengan budget seminimal mungkin, salah
satunya jalan-jalan ala backpacker. Pendek kata, tak ada ruginya jalan-jalan.
Selain sebagai investasi masa depan, jalan-jalan membuat kita lebih dekat
dengan alam.
Namun, bagaimana
mungkin kita bisa dekat dengan alam jika kita hanya memilih mengurung diri di
dalam ruangan? Jika hidup itu sendiri adalah sebuah perjalanan, maka masihkah
ada alasan bagi kita untuk diam?
Yogyakarta, Maret 2015
Numpang narsis :P |
Semoga kalau ada acara bareng, aku bisa ikut :-D
ReplyDeleteSee you next trip. :D
ReplyDelete